Sabtu 27 Jan 2018 00:51 WIB

Merasakan Beratnya Kehidupan Warga Suku Asmat

Dansatgas penanggulangan KLB Campak dan Gizi buruk di Asmat yang juga sebagai Danrem 174/ATW Merauke Brigjen TNI Asep Setia Gunawan (kelima kiri) berjalan menuju Puskesmas Ayam di kampung Bayiwpinam, Distrik Akat, Kabupaten Asmat, Papua, Jumat (26/1).
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Dansatgas penanggulangan KLB Campak dan Gizi buruk di Asmat yang juga sebagai Danrem 174/ATW Merauke Brigjen TNI Asep Setia Gunawan (kelima kiri) berjalan menuju Puskesmas Ayam di kampung Bayiwpinam, Distrik Akat, Kabupaten Asmat, Papua, Jumat (26/1).

REPUBLIKA.CO.ID, Laporan wartawan Republika, Fitriyan Zamzami dari Papua

Bicara soal kampung di Kabupaten Asmat, Papua, tentu tak serupa bicara soal kampung-kampung di Jawa atau daerah-daerah kebanyakan di Indonesia. Tak perlu banyak rumah, tiga hingga lima kediaman sudah bisa jadi satu wilayah di Asmat.

Di kabupaten tersebut, ada sebanyak 23 distrik, konsep wilayah setingkat kecamatan khas Papua. Sebanyak 23 distrik tersebut, luas total total wilayahnya sekitar 32 ribu kilometer persegi dengan total 224 kampung.

Bagaimana warga pedalaman hidup di kampung-kampung yang kebanyakan amat terpencil itu? Beni Yosep Bakan (50 tahun) warga Distrik Jetsy, sekira empat jam perjalanan perahu cepat dari ibu kota kabupaten, menuturkan, mereka kerap menggantungkan hidup kepada alam. Bila bahan makanan habis, mereka akan berkelana ke hutan dan ke sungai mengumpulkan sagu dan umbi-umbian yang tumbuh liar, atau mengail ikan di sungai.

Seluruh anggota keluarga biasa dibawa serta. “Iya, termasuk anak-anak semua juga,” ujar Beni saat ditemui Republika.co.id tengah menunggui istrinya yang tengah dirawat di RSUD Agats, Kamis (26/1).

Sukarnya kehidupan di kampung-kampung juga dituturkan Yolana Berpit (40 tahun), warga Kampung Aswed, Distrik Suru-Suru, sekitar dua jam perjalanan perahu cepat dari Agats. Ia menuturkan, keberadaan air bersih sangat tergantung kondisi alam.

photo
Warga Agats menggendong putrinya yang tengah dirawat di Aula Gereja Protestan Indonesia, Agats,Kabupaten Asmat, Kamis (25/1).

Bila ada banyak hujan, air hujan yang jadi tumpuan mereka. Ketika hujan mulai jarang, air sungai terpaksa diminum. Saat air sungai juga surut, mereka akan mencari yang namanya 'air dusun' yang merupakan saripati pohon sagu berwarna kemerahan yang kemudian dimasak.

Bagaimanapun kerasnya hidup di kampung-kampung yang tersebar saling berjauhan tersebut, seluruh warga Asmat yang diwawancarai Republika.co.id, menggeleng begitu mendengar usulan relokasi yang sempat dilontarkan Presiden Joko Widodo. Apa hal?

Simon Samenjam (40), warga Distrik Jetsy menuturkan, kampung-kampung mereka sedianya bukan milik mereka sendiri. Ia diturunkan leluhur sebagai jatah buat masing-masing keluarga di Asmat. Buat masing-masing keluarga tersebut, ada batas ulayat yang jelas soal di mana harus tinggal, dan ke mana harus mencari makan.

Seturut anggapan sebagai titipan leluhur, menurut Simon, mereka takberani beranjak. Meski sudah dibaptis pendeta Katolik, Simon menekankan ia masih takut dengan tulah para leluhur.

“Nanti dia (arwah leluhur) jemput dan angkat kita satu-satu, kalau pindah,” kata Simon. Maksud dia, Anggota keluarga mereka bisa meninggal satu per satu bila tinggal di luar kampung yang diturunkan leluhur.

Ayub Pakage, seorang pegawai pemerintah daerah di Agats berpandangan serupa. Menurut dia, di luar kampung mereka, warga Asmat terkekang. Tak tahu ke mana harus mencari makan dan berburu. Pasalnya, warga Asmat sangat ketat menerapkan wilayah-wilayah ulayat yang bisa jadi lokasi mencari penghidupan.

Di masa lampau, melintasi wilayah ulayat untuk mencari makan bisa berujung kematian oleh pemilik wilayah ulayat lain. “Jadi mereka akan merasa terasing dan tidak bisa apa-apa,” kata Ayub.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement