Jumat 19 Jan 2018 04:00 WIB

Kampanye Berintegritas, Pemilih Cerdas, dan Pemilu Berkualit

 Rizky Fajrianto-Founder Gerakan Rusun Mengajar
Foto: dok. Pribadi
Rizky Fajrianto-Founder Gerakan Rusun Mengajar

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rizky Fajrianto *)

Dinamika politik Tanah Air kembali menggeliat. Sebagaimana tahun lalu, sebanyak 171 daerah akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah pada tahun ini. Perinciannya 17 provinsi memilih gubernur-wakil gubernur, 39 kota memilih wali kota-wakil wali kota, dan 115 kabupaten memilih bupati-wakil bupati.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga sudah menetapkan jadwal pemungutan suara atau pencoblosan, yaitu pada Rabu 27 Juni 2018. Tidak bisa dimungkiri, pilkada serentak merupakan hajat politik lokal terbesar.

Namun, patut dicatat, pilkada serentak tentu tidak hanya membicarakan calon pemimpin di daerah masing-masing. Pilkada sebagai bagian dari pemilihan umum yang berkualitas bisa dinilai dari beberapa faktor, yaitu penyelenggara yang kompeten dan berintegritas. Faktor berikut adalah kontestan, baik calon pemimpin serta partai politik yang taat aturan.

Cerdas memilih

Salah satu insiden yang menarik perhatian publik jelang pendaftaran calon peserta pilkada serentak adalah kampanye negatif yang menimpa Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas. Sosok calon wakil gubernur berpasangan dengan Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dalam pilkada Jawa Timur itu diserang oleh sejumlah pihak melalui penyebaran foto-foto vulgar dan tidak senonoh.

Akibat dari serangan itu, Azwar Anas mengembalikan mandat sebagai cawagub dari PDI Perjuangan, Sabtu (6/1). Sebagai pengganti, PDIP telah menunjuk anggota DPR dari Jawa Barat yang juga cucu proklamator kemerdekaan RI Bung Karno, yaitu Puti Guntur Sukarno.

Tidak dapat dimungkiri, insiden yang menimpa Anas bahkan jauh sebelum pilkada dimulai sangat merusak integritas dalam berkampanye. Padahal, dalam mengajak pemilih untuk memilih harus dengan integritas, bukan saling menjatuhkan.

Semua peserta kampanye harus mematuhi peraturan yang ada, seperti menciptakan kampanye yang damai, bersih, dan demokratis. Jadi, jangan saling mencaci maki, menyalahkan apalagi memaksakan kehendak. Paslon, tim kampanye, dan para pendukung juga harus memotori semangat persatuan dan persaudaraan, berjanji kepada seluruh rakyat Indonesia, dan menyatakan siap menciptakan pemilu berintegritas dan damai demi terwujudnya kemajuan Indonesia dan terjaganya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Pemimpin yang baik lahir bukan semata karena kapasitas, kapabilitas, dan integritas personal yang bersangkutan. Pemimpin yang baik bisa lahir dari pemilih yang cerdas dan proses pemilihan yang tidak hanya demokratis, tetapi juga jauh dari suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Rakyat harus mampu menggunakan hak suara secara cerdas dengan melihat rekam jejak karakter serta visi dan misi para calon kepala daerah. Dengan demikian, pilkada serentak 2018 harus menjadi penegasan bahwa Indonesia telah menapaki demokrasi yang rasional, yang mampu melahirkan kepemimpinan inklusif.

Hal tersebut perlu terus disuarakan. Ini mengingat sentimen berlatar SARA masih menjadi persoalan serius dalam kehidupan demokrasi di Tanah Air. Kampanye berbau SARA hampir selalu hadir di setiap perhelatan pemilihan pemimpin eksekutif dan legislatif, baik pemilihan kepala daerah dan legislatif.

Kenyataan tersebut tentu menjadi keprihatinan yang besar. Sebab, hal itu mengingkari pluralitas yang menjadi jati diri bangsa ini. Identitas Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa merupakan konsensus nasional yang menegaskan bahwa perbedaan yang ada bukanlah hal untuk dipertentangkan. Perbedaan justru harus menjadi elemen yang mengokohkan satu sama lain.

Media sosial, dipastikan menjadi pilihan sebagai jembatan komunikasi efektif. Untuk itulah, para kandidat dan tim pemenangnya, wajib mengarahkan tim media sosial untuk membanjiri halaman-halaman di dunia maya hanya dengan pesan kampanye yang edukatif, argumentatif, dan persuasif. Hindari fitnah dan saling cela, serta kedepankan etika dan kesantunan. Hanya dengan cara ini, kita benar-benar hendak menciptakan pemilih-pemilih yang cerdas.

Begitupun dengan pendidikan politik yang harus dilakukan dengan menunjuk personel tertentu. Mereka harus dapat menjadi pemandu dalam kerangka keikutsertaan dalam pemilu sehingga bertujuan masyarakat memahami tujuan pemilu sekaligus menjadi masyarakat sadar politik.

Berkualitas

Semua elemen juga harus menyadari bahwa pilkada yang akan melahirkan pemimpin berkualitas adalah pilkada yang menghadirkan perang program serta adu visi dan misi. Dengan cara tersebut, pemilih akan mendapat informasi lengkap mengenai siapa yang dianggap pantas dan mampu menjadi kepala daerah.

Berbeda pilihan adalah hakikat dari proses demokrasi. Namun, perbedaan itu kita yakini akan membawa kebaikan jika lahir dari para pemilih yang yang cerdas, yang tidak mengingkari kemajemukan.

Sebagai suatu perwujudan atas hak asasi warga negara Indonesia adalah menjamin hak setiap warga negara Indonesia untuk menyampaikan aspirasi politiknya melalui jalur partai politik yang telah tersedia sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Asas dalam penyelenggaraan pemilu adalah sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang penyelenggara Pemilihan Umum yaitu mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas.

Untuk menciptakan pemilu yang berkualitas adalah suatu yang mutlak harus dipenuhi. Sebab, jika tidak maka pemerintahan yang diinginkan untuk lima tahun mendatang tidak akan mendapat dukungan rakyat. Pemerintahan itu kelak tidak akan sesuai harapan dalam mencapai amanat rakyat yang sesuai dalam pembukaan Undang-Undang dasar1945, yaitu suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa, dan seterusnya. 

Proses penuh transparansi juga harus dijalankan karena merupakan suatu proses pemenuhan oleh penyelenggara pemilu di mana setiap orang dapat mengakses informasi yang ada baik diminta atau tidak diminta. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan informasi publik mengisyaratkan adanya jenis-jenis informasi yang harus disediakan dan diberikan kepada pemohon informasi manakala pemohon menghendaki, kecuali informasi yang memang dikecualikan sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Begitupun penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang menempati posisi strategis sebagai pilar penting demokrasi harus bersikap netral dan berintegritas agar pesta demokrasi tidak ternodai. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) juga harus bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. DKPP adalah “wasit” yang harus netral dan penegak kode etik penyelenggara pemilu.

Lalu, peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menjadi sangat sentral dalam mewujudkan pemilu yang berkualitas dalam mengontrol dan mengawasi jalanya kampanye sampai ditetapkan hasil perhitungan suara. Selain itu para alim ulama juga harus dilibatkan, sebab mereka masih sangat dipercaya oleh masyarakat sebagai panutan.

Sebagai penutup saya hanya ingin mari kita ramaikan tahun politik 2018 dengan berintegritas dan cerdas, sehingga dapat menghasilkan pemilu yang berkualitas. Jangan sampai golput. Karena golput bukanlah pilihan politik yang tepat dalam sistem demokrasi kita.

*) Founder Pilkada Center di Pilkada DKI Jakarta 2017, Founder Gerakan Rusun Mengajar

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement