Kamis 18 Jan 2018 14:24 WIB

Tiga Alasan Fredrich Ajukan Gugatan Praperadilan

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Andri Saubani
Tersangka kasus merintangi, mencegah atau menggagalkan  secara langsung atau tidak langsung penyelidikan perkara KTP Elektronik  dengan tersangka Setya Novanto Fredrich Yunadi tersenyum saat akan memasuki gedung KPK untuk melakukan pemeriksaan di Kantor KPK. Jakarta, Selasa (16/1).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Tersangka kasus merintangi, mencegah atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyelidikan perkara KTP Elektronik dengan tersangka Setya Novanto Fredrich Yunadi tersenyum saat akan memasuki gedung KPK untuk melakukan pemeriksaan di Kantor KPK. Jakarta, Selasa (16/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa hukum tersangka kasus penghalangan penyidikan Fredrich Yunadi, Sapriyanto Refa resmi mengajukan permohonan praperadilan atas kliennya ke Pengadaan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (18/1). Sapriyanto mengungkapkan tiga hal yang membuat pihaknnya mengajukan praperadilan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Hal pertama, menurut Sapriyanto, penetapan tersangka terhadap Fredrich dianggapnya tidak sah. Hal ini lantaran menurutnya alat bukti yang digunakan pihak KPK tidak cukup. Untuk diketahui, sesuai KUHAP, untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka diperlukan dua alat bukti pendukung.

"Kita menganggap dua bukti permulaan itu yang cukup, tidak terpenuhi dalam penetapan pak Fredrich sebagai tersangka," ujar Satriyanto di PN Jakarta Selatan, Jakarta, Kamis (18/1).

Kedua, penyitaan yang dilakukan KPK menurut Sapriyanto juga tidak sah karena tidak dilengkapi keputusan pengadilan. Selain itu, kata dia, penyitaan alat bukti yang dilakukan juga tidak merujuk pada tindak pidana yang dituduhkan pada Fredrich.

Seharusnya, barang bukti yang dicari adalah dalam rangka menemukan barang bukti yang digunakan untuk pasal yang dituduhkan pada Frederich, yakni perkara obstruction of justice atau perbuatan menghalangi penegakan hukum yang dituduhkan pada Fredrich sesuai Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

Menurut Sapriyanto, KPK justru menyita barang bukti yang tidak ada hubungannya dengan pasal tersebut. "Misal dokumen berkaitan perkara lain yang tidak ada hubungan dengan perkara menghalangi ini. Itu diambil penyidik dan dilakukan penyitaan," ujar dia.

Sapriyanto menyebutkan, KPK salah menafsirkan terkait penyitaan barang bukti. KPK menyita seluruh barang bukti yang berkaitan dengan kasus KTP el. Padahal, menurutnya, Fredrich dituduh dengan Pasal menghalangi, bukan kasus KTP el.

"Ini kan berbeda, kalau KTP-el kan kita bukan pelaku tindak pidana KTP-el, pelakunya kan pak Novanto dan lain-lain. Ini kan hanya menghalangi, carilah bukti dokumen yang bisa menjadi membuktikan Fredrich menghalangi," kata dia.

Ia menambahkan, sesuai Undang-Undang Advokat, advokat mempunyai hak menyimpan dokumen dari kliennya dan itu mendapatkan perlindungan. Dokumen menurut dia tidak boleh disita. "Jadi penyitaan yang dilakukan itu bertentangan dengan kuhap dan UU Advokat," kata dia.

Alasan ketiga, penangkapan dan penahanan juga dinilainya tidak sah. Sapriyanto menjelaskan, pada 12 Januari 2017, Fredrich dipanggil KPK untuk diperiksa sebagai tersangka.

Fredrich tidak hadir karena beberapa hari sebelumnya, kuasa hukum meminta pada KPK untuk memeriksa terlebih dahulu pelanggaran etik apa yang dilakukan oleh Fredrich. Namun, belum 24 jam surat pemanggilan itu berlalu, pada Jumat (22/1) pukul 22.00 dilakukan penangkapan.

"Jadi kami melihat penangkapan yang dilakukan tidak sesuai KUHAP. Karena apabila seseorang yang dipanggil mekanisme pemanggilan yang digunakan sesuai pasal 112 kalau tidak ada, dipanggil lagi sekali lagi, ini kan tidak, malah dilakukan penangkapan," kata dia.

Tiga hal tersebut pun menjadi alasan pihak Fredrich Yunadi mengajukan pra peradilan. Proses selanjutnya, diserahkan Sapriyanto pada Pengadilan untuk menetapkan sah atau tidaknya proses penetapan tersangka, penyitaan bukti maupun penangkapan Fredrich.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement