REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tragedi malnutrisi dan wabah campak di Kabupaten Asmat, Papua, tak terlepas dari minimnya fasilitas kesehatan. Terkait hal itu, sejumlah lembaga amil, zakat, infak, dan sedekah bertekad mengupayakan penyediaan fasilitas-fasilitas dan pelayanan kesehatan di kabupaten tersebut.
Salah satu lembaga filantropi yang telah merencanakan pembangunan fasilitas kesehatan di Asmat adalah Rumah Zakat (RZ). CEO Rumah Zakat Nur Effendi mengatakan, pihaknya akan menurunkan klinik keliling ke Asmat, sehingga bisa menjangkau daerah-daerah yang terkena dampak.
"Kita mau turunkan klinik keliling di sana. Jadi klinik keliling ini dengan fasilitas kesehatannya, dengan fasilitas dokter dan perawatnya," ujarnya, Rabu (17/1).
Ia menuturkan, sebelumnya Rumah Zakat juga telah mengirimkan tim pendahulu yang terdiri atas lima relawan dan tiga tim medis. Tim pendahulu tersebut saat ini sudah sampai di lokasi dengan membawa bantuan pangan. "Karena yang paling dibutuhkan dan darurat adalah pangan. Pangan itu salah satunya di dalamnya ada paket kornet kurban dan rendang kurban," ucapnya.
Kemudian, lanjut dia, Rumah Zakat menurunkan tim medis untuk mendeteksi awal kondisi di Asmat, yang kondisinya sudah dalam status kejadian luar biasa. "Sambil membuka posko di sana. Nanti disusul oleh tim selanjutnya dengan mobil klinik keliling itu, biar bisa menjangkau tidak hanya satu titik, tapi di seluruh titik di Kabupaten Asmat," kata Nur Effendi.
Selain Rumah Zakat, Dompet Dhuafa juga menyatakan akan mengirimkan layanan kesehatan. Sejauh ini, Dompet Dhuafa melalui tim Layanan Kesehatan Cuma-cuma (LKC) Papua mengirimkan tim medis yang akan bergerak merespons bencana di Kabupaten Asmat. Dompet Dhuafa menilai, penanganan selekasnya sangat diperlukan untuk mengatasi dan merespons bencana di Asmat.
"Selasa (16/1) Waktu Indonesia bagian Timur, tim sudah bergerak dengan speedboat untuk menyeberangi rawa dengan waktu tempuh tiga hingga empat jam, menuju Distrik Agats di Kabupaten Asmat," kata anggota Tim Medis dari LKC Papua Dompet Dhuafa, dr Fitri, dalam keterangannya, Rabu (17/1).
Fitri menerangkan, Dompet Dhuafa melalui LKC Papua menerjunkan dua dokter dan tim relief. Target Tim Medis LKC Papua melakukan pemeriksaan kesehatan, sekaligus melakukan upaya perbaikan gizi terhadap anak-anak di Distrik Agats. Susu, makanan pendamping, biskuit, suplemen multivitamin, dan kebutuhan medis lainnya menjadi perbekalan Tim Medis LKC Papua.
"Target kami adalah pemeriksaan kesehatan anak-anak dan juga memperbaiki asupan gizinya. Mohon doanya agar senantiasa dimudahkan langkah kami dalam membantu mengurangi permasalahan kesehatan di Asmat," ujarnya.
Informasi tragedi kesehatan di Kabupaten Asmat mula-mula diungkapkan Keuskupan Agats, ibu kota Asmat. Uskup Keuskupan Agats, Mgr Aloysius Murwito, melaporkan sejak pekan lalu, wabah campak sejak empat bulan ini telah mencapai puluhan orang. Pemerintah setempat melansir, jumlah korban meninggal telah mencapai sedikitnya 61 orang.
Aloysius Murwito menuturkan, kondisi kesehatan masyarakat di Kabupaten Asmat memang masih rendah kualitasnya, khususnya terkait dedikasi petugas di lapangan. Keuskupan telah melakukan pelayanan pendidikan dan kesehatan di lokasi tersebut sejak 1950-an.
Sedangkan tokoh Papua, Pater Neles Tebay berpendapat, masalah kesehatan di Bumi Cenderawasih merupakan tanggung jawab semua pemangku kepentingan, bukan saja pemerintah atau instansi terkait. Ia mengingatkan, tak hanya tahun ini, kematian anak-anak di Papua dalam jumlah besar juga terjadi pada 2017 lalu.
Selama ini, menurut dia, permasalahan yang mencuat, yakni kekurangan dokter umum, dokter spesialis, mantri, gedung puskesmas, ataupun puskesmas pembantu yang jauh dari penduduk Papua. Selain itu, ada persoalan puskesmas yang tidak ada perawatnya, puskesmas yang tidak tersedia obat-obat yang dibutuhkan rakyat, serta biaya transportasi yang mahal. Terisolasinya kampung yang didiami orang Papua dan rendahnya kesadaran dalam hal hidup sehat juga menjadi persoalan.
Neles Tebay yang juga koordinator Jaringan Damai Papua menekankan, pemerintah bukan merupakan satu-satunya pemangku kepentingan. Ada pemangku kepentingan lain selain pemerintah, seperti pihak swasta, yakni perusahan-perusahan yang mengeksploitasi kekayaan alam papua. Ada juga lembaga keagamaan, lembaga gereja, lembaga adat, serta kelompok perempuan dan pemuda.
"Semua pemangku kepentingan ini dapat memberikan kontribusi yang khas, dalam menangani masalah kesehatan dan mempromosikan hidup sehat di antara orang asli Papua. Bahkan, setiap pribadi mesti bertanggung jawab atas perkembangan kesehatannya," kata dia.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Oscar Primadi mengklaim, obat-obatan dan fasilitas kesehatan lainnya terakhir dikirim ke Kabupaten Asmat pada November 2017. Meski begitu, Oscar mengakui, ada beberapa permasalahan yang menghambat pengiriman dan bantuan kesehatan ke Asmat.
Di antaranya, akses transportasi yang sangat sulit. "Kami tidak kurang-kurangnya selalu mengirimkan bantuan obat-obatan, tenaga kesehatan, dan lainnya. Tapi ya, kita tidak bisa melakukan itu semua (sendiri), karena otonomi daerah," kata Oscar, Rabu (17/1).
Karena itu, Oscar melanjutkan, dalam dana alokasi khusus (DAK) farmasi tahun 2018, pemerintah pusat tidak mengalokasikan anggaran untuk mengirimkan bantuan obat-obatan ke Kabupaten Asmat. Alasannya, selain Dinkes Kabupaten Asmat tidak mengajukan proposal untuk pengadaan obat, Kemenkes juga mengklaim dana untuk obat-obatan telah ditanggung oleh dana otonomi khusus.
Menurut dia, sebenarnya Kemenkes pernah menerima laporan terkait adanya peningkatan masyarakat yang terkena campak. Ketika itu, Kemenkes langsung mengirim tim kesehatan untuk melakukan peninjauan ke Kabupaten Asmat. Namun, bantuan tersebut diakui Oscar kurang maksimal karena adanya miskoordinasi dengan pemerintah daerah.
Dia menekankan, perlu ada pendampingan khusus yang berkelanjutan dalam memberikan pemahaman kesehatan bagi masyarakat Kabupaten Asmat, atau kawasan daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T).
Pendampingan tersebut pun difungsikan untuk terus memberi pemahaman mengenai kesehatan. "Indonesia memiliki budaya dan adat yang beragam, kadangkala adat di satu daerah yang berada di kawasan 3T itu susah juga mengubahnya. Itu harus diberikan pendampingan khusus," kata dia.
Ia mengungkapkan, dalam rapat koordinasi KLB di Asmat, ada sejumlah poin yang jadi sorotan. Di antaranya, ada kesulitan penduduk mengakses pelayanan medis karena kondisi geografis dan ekonomis. Sebab itu, Kemenkes dan pihak-pihak terkait akan melakukan pelayanan kesehatan keliling serta penyediaan puskesmas apung. Selain itu, direncanakan juga program penugasan dengan kredit poin bagi dokter baru.
(gumanti awaliyah, pengolah: fitriyan zamzami).