REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Bupati Kupang Ayub Titu Eki mengaku pernah diminta mahar Rp 10 miliar oleh partai politik. Hal itu sebagai syarat menjadi calon Gubernur Nusa Tenggara Timur pada Pilkada 2018.
"Saya dimintai uang yang begitu besar. Tidak tangung-tangung permintaanya sebesar Rp 10 miliar oleh partai politik ketika saya mengikuti 'fit and proper test' sebagai calon Gubernur NTT beberapa waktu lalu," kata Titu di Kupang, Rabu, terkait maraknya permintaan mahar politik dalam pilkada.
Ia menegaskan, permintaan uang Rp 10 miliar oleh partai politik yang enggan disebutkan itu ditolak karena terlampau besar.
"Saya tidak memiliki uang tetapi saya didukung masyarakat luas di Pulau Timor. Permintaan mahar bukan suatu proses pendidikan politik yang baik bagi seorang pemimpin," tegasnya.
Titu pernah mendaftarkan diri sebagai calon Gubernur NTT ke sejumlah partai politik di provinsi berbasis kepulauan ini. Yaitu PDIP, PKB, PKPI, dan Hanura.
Sekalipun telah mengikuti tahapan penjaringan dilakukan sejumlah partai itu, Bupati Kupang dua priode ini terpental dari bursa pencalonan sebagai calon Gubernur NTT pada Pilkada 2018.
"Permintaan uang Rp 10 miliar tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi. Permintaan mahar ini merupakan investasi bagi seorang calon pemimpin untuk berprilaku korupsi. Untuk mendapatkan kembali uang Rp 10 miliar maka harus korupsi atau bersekongkol dengan pengusaha yang juga berprilaku korupsi," tegas Titu Eki.
Untuk itu, kata dia, masyarakat NTT harus pandai memilih pemimpin NTT pada pilkada 2018 yang bebas dari korupsi.
"Masyarakat NTT jangan terpesona dengan iming-iming uang karena menghambur-hamburkan uang juga akan melakukan korupsi. Masyarakat harus memilih calon gubernur yang cerdas, moral yang baik dan antikorupsi sehingga kesejahteraan masyarakat NTT menjadi lebih baik," tegas Titu Eki.