Senin 15 Jan 2018 05:47 WIB

Setelah La Nyalla dan Siswandi, Siapa Lagi?

Tolak politik uang.   (ilustrasi)
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Tolak politik uang. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ali Mansur, Santi Sopia

Kisah pedih kegagalan Abdullah Azwar Anas, Bupati Banyuwangi, maju sebagai pendamping Gus Ipul pada Pilgub Jatim 2017 akibat skandal foto-foto, dialami banyak kandidat lain juga. Bedanya, jika Azwar Anas sekarang fokus mencari kebenaran atas penyebar foto yang telah merusak nama baiknya, kandidat lain sibuk menembak partai dan tokoh partai yang gagal mengusungnya.

La Nyalla Mattalitti, kandidat cagub Jatim, termasuk yang kecewa berat terhadap Gerindra dan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto. La Nyalla telah mendapat mandat untuk maju sebagai cagub dari Gerindra namun kemudian gagal mencari pasangan dan partai pendukung, akhirnya mengembalikan mandat itu kepada Prabowo.

Tak lama setelah pengembalian mandat itu di mana kemudian Gerindra mendukung pasangan Gus Ipul-Puti Guntur Soekarnoputri, La Nyalla pun bernyanyi tentang adanya uang mahar untuk pencalonannya. Uang itu --yang jumlahnya berubah-ubah-- sebesar Rp 40 miliar diminta Prabowo untuk membiayai saksi-saksi di puluhan ribu TPS di Jawa Timur.

La Nyalla sebelumnya menyebut diminta uang mahar sebesar Rp 170 miliar oleh oknum politikus Gerindra Jawa Timur. Tapi kemudian ia mengaku diminta Rp 40 miliar oleh Prabowo.

Pengurus Gerindra pun membantah keras pengakuan mantan ketua umum PSSI itu. Bahkan, sejumlah pejabat daerah yang selama ini maju pilkada mengendarai Gerindra mengaku tidak pernah diminta uang mahar oleh Prabowo. Kalaupun ada pengeluaran biaya politik, itu biasanya dikumpulkan secara gotong royong.

Tak berselang lama, pengakuan lain datang Brigjen Pol Siswandi, kandidat yang gagal maju pada pemilihan wali kota Cirebon. Siswandi mengaku diminta mahar miliaran rupiah oleh PKS Cirebon.

Karena tidak mampu memenuhi permintaan uang mahar itu, Siswandi akhirnya gagal maju. Ia menuding PKS sebagai aktor di balik kegagalannya.

PKS kontan membantah tudingan sepihak ini. Sekretaris Umum DPW PKS Jawa Barat Abdul Hadi Wijaya menegaskan begitu ada pengakuan Siswandi, pihaknya langsung melakukan investigasi internal yang terlibat dalam proses penerbitan SK untuk bakal calon wali kota dan wakil wali kota Cirebon.

Dia menegaskan, pemberitaan dan pengakuan Siswandi terkait adanya persyaratan materiil tertentu dari PKS yang menjadi sebab tidak terbitnya SK bakal calon wali kota/wakil wali kota Cirebon adalah tidak benar. Bahkan, Abdul Hadi menyatakan, PKS sudah menghubungi dan mengonfirmasi Siswandi tentang siapa oknum yang meminta dana mahar kepada dia dan bagaimana prosesnya.

"Tapi beliau tidak bisa menyampaikan jawaban pasti (siapa oknum PKS yang meminta uang mahar)," kata Abdul Hadi.

Padahal PKS butuh nama yang disebut-sebut Siswandi telah meminta mahar politik yang selama ini diharamkan di partai berbasis Islam itu. Akibatnya, proses investigasi internal di dalam PKS bisa tenggelam jika tak ada pengakuan yang objektif dan faktual dari Siswandi.

Abdul Hadi menjelaskan, proses penentuan kandidat kepala daerah di Kota Cirebon memang dinamis. Namun demikian, semua saluran komunikasi antarstruktur partai terkait proses ini telah terdokumentasi dengan rapih. Dengan begitu, sangat mudah bagi PKS untuk menelusuri jejak oknum partai yang diduga telah meminta uang mahar jika itu memang betul adanya.

Apalagi, sepanjang catatan internal, kata dia, DPW PKS Jawa Barat tidak pernah memproses nama Siswandi-Euis (pasangan calon wakil wali kota). PKS memahami kekecewaan beberapa pihak dalam proses pilkada Cirebon ini.

Bisa muncul lagi

Salah seorang petinggi partai politik mengaku pihaknya sedang menelusuri aktor di balik yang menyusun serangan sistematis dan terencana kepada dua partai yang selama ini identik dengan aksi 212. Pengurus partai yang tidak bersedia diungkap identitasnya ini menyatakan fenomena yang muncul dari Azwar Anas, La Nyalla, hingga Siswandi bukan terjadi secara kebetulan.

Menurut dia, ada yang mengatur permainan ini untuk mendiskreditkan calon-calon yang diusung Gerindra dan PKS. Apalagi, kans kandidat-kandidat kedua partai ini cukup besar untuk memenangkan pilgub dan pilbup/pilwalkot.

"Setelah ini kita tidak tahu apa lagi yang akan muncul. Mungkin ada pengakuan lain dari orang yang kecewa dan gagal juga," kata politisi ini.

Situasi politik memang sedang panas di mana proses pilkada serentak sudah dimulai. Hasil pilkada ini terutama pilgub di beberapa provinsi terutama di Jabar, Jatim, dan Jateng akan menentukan arah Pilpres 2019.

Kader eksternal

Terlepas dari kemungkinan bakal muncul pengakuan-pengakuan lainnya lagi, isu mahar politik menjadi santapan yang rutin jika pilkada digelar. Ini semacam masa panen bagi pengurus partai politik untuk meraup uang dari para kandidat yang berminat maju.

Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Reseach and Consulting Pangi Syarwi Chaniago melihat, isu uang mahar sudah tak asing lagi di balik pencalonan kepala daerah. Kepentingan koalisi di pilkada, kecenderungannya juga bukan berdasarkan kepentingan ideologis atau sekadar platform partai. Tapia da masalah finansial juga.

"Ada faktor mahar politik. Biasanya partai mengusung kader eksternal karena bisa 'membayar'. Saat itu biasanya disebut sebagai 'masa panen'," kata dia, Ahad (14/1).

Kader eksternal tersebut dijual untuk membesarkan partai. Makannya partai menjadi menerima mahar. Ada pula dana yang ditanggung selebihnya atau diupayakan oleh partai.

Mahar politik, kata Pangi, memang tidak selalu berlaku pada kondisi-kondisi tertentu. Ada kalanya partai menanggung seluruh dana dikarenakan faktor calon yang diusung misalnya punyan probabilitas tinggi untuk menang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement