REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pasal 222 UU Pemilu mengenai ambang batas pencalonan Presiden atau Presidential Threshold (PT), dinilai sebagai tanda MK telah kehilangan rasionalitas. Padahal semestinya MK menyelaraskan cara berpikir Undang-undang (UU) yang ada dengan UU Dasar 1945.
"Tugas MK adalah menyelaraskan cara berpikir atau cara pandang yang dianggap bertentangan dengan Undang-undang Dasar 45, termasuk yang bertentangan dengan kewarasan dan rasionalitas," tutur Sekjen Gerindra Ahmad Muzani dalam keterangan tertulisnya, Kamis (11/1).
Muzani pun mempertanyakan sikap MK yang terkesan lemah dalam menyikapi persoalan ambang batas pencalonan presiden. "MK pernah membatalkan seluruh undang-undang, sebagian undang-undang, beberapa pasal undang-undang, kenapa dalam pasal ini MK seperti gontai dan loyo," jelas dia.
Selain itu, menurut Muzani, bagaimana mungkin konsep di pemilihan presiden dan wakil presiden pada 2014 lalu itu digunakan kembali pada pemilihan umum (pemilu) serentak yang akan dilaksanakan pada 2019 mendatang. Disebut serentak karean pemilihan presiden dan legislatif dilakukan secara berbarengan.
Seperti diketahui, MK melalui putusan yang dibacakan pada 11 Januari 2018 menolak pengujian pasal 222 UU Pemilu tentang ambang batas pencalonan presiden yang dianggap para pemohon bertentangan dengan UUD 45.
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menjelaskan putusan tersebut berarti bahwa hanya partai atau gabungan partai yang dalam pemilu DPR lima tahun sebelumnya, yakni Pemilu 2014, yang dapat mencalonkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden, dengan jumlah kursi DPR minimum 20 persen atau perolehan suara sah secara nasional minimal 25 persen.
Sedangkan yang tidak memenuhi ambang batas itu tidak boleh mencalonkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden. MK tetap berpendirian bahwa soal ambang batas itu adalah kewenangan pembentuk UU yakni Presiden dan DPR.
Menurut MK, ambang batas juga tidak bertentangan dengan UUD 45. Walau Pemilu dimulai pada 2019 yang dilaksanakan serentak, MK berpendapat hasil Pemilu DPR lima tahun sebelumnya tetap valid dan tidak basi untuk dijadikan patokan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden lima tahun ke depan.