Kamis 04 Jan 2018 17:33 WIB

Masuki Tahun Politik 2018, Waspadai Sentimen SARA

 Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) DKI Jakarta KH. Syafii Mufid saat memberikan keterangan dalam Media Gathering Bawaslu DKI bertajuk Himbauan Pilkada DKI yang Damai di Jakarta Pusat, Kamis (13/10).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) DKI Jakarta KH. Syafii Mufid saat memberikan keterangan dalam Media Gathering Bawaslu DKI bertajuk Himbauan Pilkada DKI yang Damai di Jakarta Pusat, Kamis (13/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi bangsa Indonesia, tahun 2018 ini diproyeksikan sebagai tahun politik. Hal ini seiring dengan digelarnya 171 Pilkada yang terdiri dari 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Potensi pemanfaatan identitas primordial dan kultural dikhwatirkan dapat menimbulkan anarkisme sosial. Tak hanya itu, isu hoaks yang diwujudkan melalui narasi radikalisme di dunia maya, eksploitasi agama dalam kepentingan politik telah menggiring terciptanya sentimen SARA yang berujung terhadap kebencian, kekerasan dan bahkan radikalisme terorisme berpotensi memecah belah persatuan bangsa.

Untuk itu seluruh elemen masyarakat diminta untuk tetap waspada terhadap isu-isu yang dapat memecah persatuan dan harus dapat menjaga keharmonisan dan kerukunan antar seluruh umat di Tanah Air agar persatuan bangsa dapat terjaga dengan baik,

“Tentunya juga perlu peran dari para tokoh agama dan tokoh masyarakat pemuka agama untuk menyampaikan kepada masyarakat agar tidak mudah terpancing dalam situasi politik 2018 nanti. Tak hanya itu, kalangan legislatif dan eksekutif juga harus bisa turut serta menjaga keharmonisan ini. Itu sangat perlu sekali dan harus, karena di tahun 2018-dan 2019 nanti semua harus seperti itu,” ujar  Direktur Indonesia Institute for Society Empowerment, Prof Dr Ahmad Syafii Mufid, Kamis (4/1).

Pria yang juga Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) DKI Jakarta ini menilai bahwa di tahun 2016-2017 lalu memang ada pemicunya sehingga gerakan untuk saling membenci yang akibatnya jika ada kebencian maka berakibat melahirkan kebencian lagi di masyarakat.

“Jadi untuk tahun 2018 seharusnya disadarari oleh masyarakat bahwa ujaran kebencian yang dilakukan baik kebencian dengan ,menggunakan isu SARA atau bukan itu harus  ditnggalkan, karena itu dapat menimbulkan perpecahan diantara kita,” ujar Ketua Komisi Litbang Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Lebih lanjut dirinya menjelaskan, cara untuk meninggalkan ujaran-ujaran kebencian itu masyarakat kita sekarang ini harus diwacanakan mengenai bagaimana hendaknya membangun kesejahteraan dan menegakkan keadilan untuk semua. Sehingga nantinya masyarakat harus dapat mewujudkan keadilan dan kesejahteraan untuk semua yakni berbangsa dan bernegara..

“Maka nanti kalau ada orang atau kelompok baik kelompok biasa atau elite kemudian mereka mengucapkan ucapan-ucapan yang cenderung kepada kebencian itu akan menjadi hina. Hal ini dikarenakan iklim pada tahun 2018 tidak lagi memainkan isu-isu premodial, tapi yang dimainkan adalah isu-isu keadilan dan kesejahteraan,” katanya.

Untuk itu, menurutnya perlu adanya kebijakan atau aturan hukum yang ketat agar kelompok-kelompok yang ingin membuat suasana menjadi ‘panas’ tidak melakukan upaya-upaya yang dapat memperkeruh keharmonisan masyarakat yang sudah terjaga ia melihat bahwa perkembangan politik Indonesia yang diamatinya sejak jaman orde lama, orde baru dan orde reformasi ini setiap tekanan itu akan melahirkan pantulan. Hal tersebut terjadi karena adanya aturan-aturan yang telah ditetapkan di negara ini

“Tetapi setiap atau tanpa ada koridor yang mengatur atau yang menghalangi itu nanti juga tidak bagus. Itu akan melahirkan yang sekarang disebut demokrasi yang kebablasan yang tanpa batas. Ini sebenarnya tidak sesuai dengan kultur, budaya dan ideologi bangsa kita yakni Pancasila,” ujar lulusan Pascasarjana Antropologi dari Universitas Indonesia ini.

 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement