Rabu 03 Jan 2018 06:10 WIB

Fenomena Calon Tunggal Diprediksi Tetap Kuat di Pilkada 2018

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Bayu Hermawan
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini (kanan) menyampaikan pandangan saat diskusi pilkada di Jakarta, Rabu (29/11).
Foto: Republika/Prayogi
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini (kanan) menyampaikan pandangan saat diskusi pilkada di Jakarta, Rabu (29/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, potensi munculnya calon-calon kepala daerah tunggal di Pilkada serentak 2018 masih sangat tinggi. Calon tunggal dalam Pilkada 2018 diprediksi masih didominasi oleh para pejawat (incumbent).

Menurut Titi, dalam dua Pilkada serentak terakhir, yakni 2015 dan 2017 jumlah calon kepala daerah tunggal cenderung meningkat. Dari 269 daerah pelaksana Pilkada serentak 2015 ada tiga daerah dengan calon kepala daerah tunggal.

"Sementara itu, pada Pilkada serentak 2017 yang dilakukan di 101 daerah, ada sembilan calon tunggal. Potensi masih banyaknya calon kepala daerah tunggal di Pilkada serentak 2018 nanti juga masih kuat," ujar Titi di Jakarta, Selasa (2/1).

Kesembilan daerah dengan calon tunggal pada 2017 itu yakni Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Tambrauw, Kota Sorong, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Kabupaten Landak, Kabupaten Buton, Kota Jayapura, Kabupaten Pati dan Kabupaten Maluku Tengah. Sementara itu, berdasarkan catatan sementara, saat ini ada potensi calon kepala daerah tunggal di enam daerah pelaksana Pilkada 2018.

Keenam daerah itu yakni Provinsi Papua, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kabupaten Lebak dan Kabupaten Deli Serdang. Titi melanjutkan, sama halnya dengan Pilkada 2017, calon tunggal pada Pilkada 2018 diperkirakan berasal dari kalangan pejawat.

"Pada 2017 lalu, calon tunggal di sembilan daerah itu memiliki relasi dengan kekuatan calon pejawat, yakni sebanyak 90 persen calon tunggal adalah pertahana yang langsung kembali maju di Pilkada. Fenomena di Indonesia ini berbeda dengan kondisi calon tunggal di luar negeri. Sebab biasanya, calon tunggal di luar negeri ada di daerah yang jumlah pemilih kecil dan pemilih tidak signifikan. Tapi di Indonesia sebaliknya, yakni di daerah dengan pemilih besar, di tengah kompetisi besar antarParpol," jelasnya.

Sementara itu, menurut pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Pangi Chaniago, fenomena calon tunggal yang melibatkan pejawat merupakan bentuk politik yang bisa disebut licik. "Sebab ini memunculkan pemborongan Parpol oleh pejawat, ini sebenarnya licik juga. Sebab nantinya bukan hanya Parpol yang diborong, pengusaha juga ikut di dalamnya. Akan banyak persekongkolan karena baik politisi dan pengusaha saling membutuhkan," ujarnya.

Pangi mengungkap adanya kebutuhan finansial oleh calon kepala daerah. Sebaliknya, pengusaha membutuhkan izin usaha di masing-masing daerahnya. Pangi mengingatkan jika hal ini keliru jika terus dibiarkan. "Kita harus mencermatinya, karena jika dibiarkan akan keliru. Ini bukan bentuk politik yang bersih," tegasnya.

Karena itu, Pangi mengingatkan perlunya parpol memperbaiki sistem pengkaderan secara internal. Kaderisasi dan mesin parpol yang baik akan bermanfaat menunjang kader-kader internal parpol untuk lebih berkompeten, memiliki elektabilitas baik dan sejalan dengan popularitasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement