REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni mengatakan jumlah calon tunggal di Indonesia terus meningkat di tiap pemilihan kepala daerah (pilkada). Menurut Titi, itu terjadi karena mudahnya hukum yang mengatur tentang calon tunggal tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa calon tunggal itu bukan calon yang lahir atas jaminan konstitusional hukum.
"Di Indonesia fenomena calon tunggal ini pemilihnya besar, di tengah banyaknya parpol yang bisa berkompetisi. Ini berbeda dengan yang ada di negara maju, seperti Inggris," jelas Titi dalam diskusi bertajuk 'Pilkada Bersih dan Kotak Kosong' di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (2/1).
Titi menambahkan meningkatnya calon tunggal juga berhubungan erat dengan banyaknya petahana yang kembali maju. Sebagai contoh kata Titi, ada sembilan daerah yang hanya diisi calon tunggal dalam Pilkada 2018. Maka dengan demikian, hampir 90 persen calon tunggal itu berafiliasi dengan kekuatan calon pejawat.
"Jadi 90 persen adalah pejawat langsung yang maju di pilkada. Jadi selalu memiliki tingkatan dengan calon pejawat atau kandidat yang berhubungan erat dengan yang sedang berkuasa, selalu dilibatkan," tambahnya.
Padahal, kata Titi, calon tunggal harusnya ada karena proses alamiah. Jika calon memang memiliki prestasi mumpuni, maka bisa diusung bersama.
Tapi yang terjadi, calon tunggal muncul karena partai-partai kesulitan dalam memunculkan kadernya. Titi berpendapat, pilkada seharusnya dilihat sebagai medium uji ketangguhan partai dalam mengukur kekuatan dan daya tarung partai.