REPUBLIKA.CO.ID, SOLO — Permintaan shuttlecock bulu tangkis atau sering disebut "kok" di industri kerajinan rumah tangga, Kampung Makam Bergolo Serengan Kota Solo, Jawa Tengah, naik hingga 100 persen menjelang digelarnya Asian Games dan Asian Para Games (APG) 2018 di Indonesia. Kenaikan menjelang pesta olahraga ini memang sudah diprediksi.
Salah seorang perajin kok batminton Maridi (52) warga RT 03 RW VIII Kelurahan Makam Bergolo Serengan Solo, Selasa (2/1), mengatakan, permintaan kok bulutangkis menjelang kegiatan seperti Asian Para Games dan pesta olahraga lainnya atau perayaan HUT RI memang diprediksi akan naik. "Kami bulan bulan ini, menjelang akan digelar pemusatan pelatihan atlet nasional untuk APG yang dipusatkan di Solo, kondisi pasar cukup menggairahkan permintaan mencapai dua ribu slop kok laku terjual atau naik 100 persen dibanding bulan sebelumnya," kata Maridi.
Menurut dia, permintaan kok pada bulan-bulan sebelumnya rata-rata memang sekitar 1.000 slop. Karena itu, Maridi mengerahkan tenaga kerja yang ada untuk memproduksi kok sebanyak-banyaknya untuk memenuhi kebutuhan pasar.
Menurut dia, kok produksinya merupakan industri rumah tangga sehingga banyak tenaga kerja bekerja dengan sistem borongan. Mereka misalnya proses produksi sortir bulu sesuai kualitas bisa dikerjakan di rumahnya masing-masing. "Kami jika bekerja secara maksimal kemampuan produksi rata-rata baru sekitar dua ribu slop kok atau per slop sebanyak 12 buah," katanya.
Produksi kok bulu tangkis buatan Maridi dengan diberikan merek "Adinda" dan "Anak Mas". Mereka menjual dengan harang bervariasi tergantung kualitasnya. Harga kualitas terbaik dijual ke toko sekitar Rp80.000 per slop, kemudian bawahnya Rp 50 ribu per slop, dan termurah Rp 45 ribu per slop.
Menyinggung soal kendala yang dihadapi para perajin pada musim hujan saat ini, Maridi menjelaskan naiknya harga bahan baku bulu ayam mulai dari harga Rp 65 ribu per 1.000 helai hingga Rp 150 ribu per 1.000 helai kualitas bagus. Selain itu, kata dia, proses produksi terganggu terutama pengeringan bulu ayam yang membutuhkan panas sinar matahari.
Jika pengeringan dilakukan dengan cara dioven maka kualitasnya kurang bagus. "Proses pengeringan kok yang bagus dengan panas matahari dibanding dengan oven hasilnya kurang maksimal," kata Maridi mengaku menekuni membuat kerajinan ini, sejak 1998-an hingga sekarang.
Ia mengatakan permintaan kok produksinya berasal dari toko-toko olahraga di wilayah Pantura seperti Kudus, Jepara, Pati, Semarang, Rembang, dan termasuk Solo.
Menyinggung soal bahan baku bulu ayam, kata dia, dapat dicari di daerah lokal saja, sedangkan kepala kok atau gabusnya harus mendatangkan dari Tiongkok yang memiliki kualitas bagus. Namun, untuk kepala kok impor ini, ada distributornya di Solo, sehingga cukup mudah mencarinya.
"Jumlah perajin kok di kampung Makam Bergolo ini, cukup banyak ada seratusan lebih. Kampung ini, memang menjadi sentra kerajinan kok di Solo hingga sekarang," katanya.