Kamis 28 Dec 2017 22:31 WIB

KPK Perpanjang Pencegahan Dua Saksi Kasus Bakamla

Juru bicara KPK Febri Diansyah
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Juru bicara KPK Febri Diansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperpanjangan pencegahan ke luar negeri terhadap dua orang saksi dalam tindak pidana korupsi suap proyek satellite monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI Tahun Anggaran 2016. Perpanjangan itu untuk kepentingan penuntutan dan persidangan untuk tersangka Nofel Hasan.

"Pada 13 Desember 2017, KPK telah meminta Imigrasi untuk memperpanjang pencegahan ke luar negeri atas nama dua orang saksi dalam kasus ini karena pencegahan sebelumnya berakhir pada 20 Desember 2017," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Kamis (28/12).

Dua saksi yang dicegah itu antara lain anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Fayakhun Andriadi dan Managing Director PT ROHDE and SCHWARZ Indonesia Erwin S Arif. "Keduanya dicegah ke luar negeri selama enam bulan sejak berakhirnya pencegahan pertama," ujarnya.

Febri mengungkapkan bahwa dalam surat pengantar KPK ke Ditjen Imigrasi disebutkan perpanjangan pencegahan ini untuk kepentingan penuntutan dan persidangan untuk tersangka Nofel Hasan.

Nofel Hasan merupakan Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla RI sekaligus pejabat pembuat komitmen (PPK) yang telah ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus tersebut. Dalam penyidikan kasus itu, KPK pun telah melimpahkan proses penyidikan ke tahap penuntutan terhadap Nofel Hasan pada Jumat (8/12) lalu.

Sebelumnya, Nofel Hasan telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 12 April 2017 lalu. Ia disebut menerima 104.500 dolar Singapura terkait pengadaan "satellite monitoring" senilai total Rp222,43 miliar tersebut.

Nofel Hasan disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya diancam pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Sementara itu, nama Fayakhun Andriadi mencuat karena disebut dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Direktur PT Merial Esa dan pemilik PT PT Melati Technofo Indonesia Fahmi Darmawansyah yang telah divonis bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta terkait kasus tersebut.

Dalam BAP itu disebutkan bahwa peruntukan uang sebesar enam persen dari nilai proyek "satellite monitoring" sebesar Rp400 miliar yang diberikan kepada Ali Fahmi alias Fahmi Al Habsyi yang merupakan staf khusus Kepala Bakamla Arie Soedewo adalah untuk mengurus proyek melalui Balitbang PDI Perjuangan Eva Sundari, kemudian anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Bertus Merlas, anggota Komisi I DPR RI dari fraksi Partai Golkar Fayakun Andriadi, Bappenas dan Kementerian Keuangan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement