Di penghujung tahun 2017, Plt Ketua DPR RI Fadli Zon memberikan refleksi atas kehidupan politik dalam satu tahun terakhir. Menurutnya, ada beberapa kata kunci yang telah meramaikan jagat politik Indonesia sepanjang 2017, yaitu hoax, SARA, toleransi, politik identitas, dan UU Ormas. Semuanya bukanlah isu yang menyenangkan.
“Wajah dunia politik kita sepanjang tahun 2017 sepertinya sangat dipengaruhi oleh wajah Pilkada DKI. Hampir seluruh isu yang mewarnai Pilkada DKI, mulai dari isu SARA, politik identitas, atau isu hoax, yang oleh para pengamat segera di-framing sebagai kebangkitan populisme kanan, kemudian bergema secara nasional,'' kata Fadli, kepada Republika.co.id, (28/12).
“Sebagai bangsa yang majemuk, bangkitnya wacana politik identitas memang pantas membuat kita khawatir. Namun, hanya mengeksploitasi kekhawatiran sangatlah tidak berguna. Kita mestinya bertanya, apa telah membuat politik identitas seolah kembali bangkit belakangan ini?!'' lanjutna lagi.
Menurut Fadli, sejak awal pihaknya berpandangan jika perbenturan keras yang terjadi selama periode kampanye Pilkada DKI kemarin terlalu gegabah jika hanya didudukkan semata sebagai persoalan "sektarian versus kebhinekaan. Meminjam analisisnya Inglehart dan Norris, populisme biasanya berkembang karena dua faktor, yaitu kesenjangan ekonomi dan terjadinya benturan kebudayaan.”
“Itu sebabnya saya berpandangan jika bangkitnya politik identitas yang terjadi belakangan ini tak berangkat dari tergerusnya komitmen masyarakat terhadap kebhinekaan, tetapi karena dipancing oleh meningkatnya ketidakadilan sosial. Menurut studi Amy Chua, pasar bebas dan demokrasi yang hanya dikuasai oleh sekelompok kecil masyarakat sangat rentan melahirkan konflik dan instabilitas. Jadi, soal ketimpangan ekonomi ini memang tidak bisa diabaikan,'' tegas Fadli.
Di luar soal ekonomi, ungkap Fadli, benturan kultural juga bisa jadi pemicu munculnya populisme. Kenapa populisme sangat mewarnai Pilkada DKI kemarin, misalnya, juga karena gesekan kebudayaan ini. Di balik hutan beton Jakarta, sebagaimana halnya kota-kota tua lainnya, banyak orang lupa bahwa Jakarta juga adalah sebuah tempat yang memiliki identitas dan jejak historis yang panjang.
Jadi, ketika identitas dan jejak historis itu dipinggirkan, dikaburkan, dan bahkan—entah secara sengaja maupun tak sengaja—sedang coba dikuburkan melalui sejumlah agenda ekonomi dan politik ruang oleh Gubernur DKI yang lama, maka tentu saja akan ada resistensi dari mereka yang merasa terikat pada identitas-identitas tradisional tersebut. Resistensi itulah yang kemudian telah melahirkan apa yang oleh para pengamat disebut sebagai kebangkitan populisme tadi.”
“Itu sebabnya, resep untuk mengatasi gejala menguatnya politik identitas bukanlah dengan melakukan kegiatan indoktrinasi, melainkan dengan menata kebijakan ekonomi dan politik, termasuk politik tata ruang, yang lebih adil dan mengakomodasi kepentingan mereka yang selama ini termarjinalkan,'' katanya.
Pada tahun 2018, Indonesia akan segera menginjak tahun politik. Maka sangat penting buat pemerintah untuk menjaga situasi agar tetap kondusif. Untuk itu, ruang publik kita mestinya makin bersih dari hoax dan ujaran kebencian. ” Menguatnya politik identitas mestinya dijawab oleh pemerintah dengan kebijakan yang berorientasi pada keadilan sosial.