Kamis 28 Dec 2017 17:51 WIB

Membaca Gerakan Amanat Sejahtera dan Aktivitas di Media Sosial

Bendahara Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Abudrahman, ketua umum Partai Gerindra Prabowo Subianto,Presiden PKS Mohamad Sohibul Iman, Sekjen PAN Eddy Soeparno, (dari kiri)  berfoto bersama melakukan pertemuan antara Partai PKS, Gerindra dan PAN di DPP PKS, Jakarta, Ahad (24/12).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Bendahara Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Abudrahman, ketua umum Partai Gerindra Prabowo Subianto,Presiden PKS Mohamad Sohibul Iman, Sekjen PAN Eddy Soeparno, (dari kiri) berfoto bersama melakukan pertemuan antara Partai PKS, Gerindra dan PAN di DPP PKS, Jakarta, Ahad (24/12).

Oleh: DR Iswandi Syahputra, Dosen dan Pengemat Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Fenomena koalisi Gerindra, PAN dan PKS dalam Pilkada di DKI Jakarta dan Jawa Barat menyusul daerah lainnya, bagi saya merupakan koalisi ideologis religius nasionalis rasa baru zaman now. Hal ini menegaskan bahwa memang sejak lama genetika politik Indonesia tidak jauh-jauh dari darah nasionalis (biasanya plus sosialis) dan religius (biasanya tradisionalis).

Hal yang menarik dari koalisi ideologis religius nasionalis rasa baru zaman now ini adalah, bagaimana proses terbentuknya koalisi tersebut.

Koalisi ini sesungguhnya terbentuk 'dari bawah' karena berbagai tekanan kekuasaan yang dirasakan mayoritas umat Islam, seperti persekusi ulama dll (dari perspektif religius) dan kebijakan kekuasaan yang dinilai nir-nasionalism, seperti penjualan aset negara, dll (dari perspektif nasionalis). Koalisi ini tidak muncul dari kehendak elite politik, seperti koalisi politik sebelumnya.

Jika koalisi-- sebut saja koalisi Gerakan Amanat Sejahtera --tersebut merupakan bentuk politik, maka aksi 212 merupakan koalisi dalam bentuk sosial. Aksi fenomenal ini seperti rahim sosial yang melahirkan 3 anak kembar politik bernama Gerindra, PKS dan PAN. Masing-masing anak memiliki darah, karakter dan pesona yang berbeda.

Melalui proses tersebut, religiusitas dan nasionalisme benar-benar menjelma sebagai kekuatan politik yang kuat dan kokoh.

Intuisi politik saya menakar kekuatan ini bisa mengambil 30-40 persen suara politik di setiap daerah dan nasional. Memang belum dominan, tetapi sangat signifikan untuk dipertimbangkan.

Karena itu, hal ini merupakan modal politik yang sangat  prospektif untuk digunakan pada Pilpres 2019. Jika koalisi ini berlanjut hingga Pilpres, kemenangannya hanya akan ditentukan oleh dua hal saja:

- Siapa pasangan yang dicalonkan untuk mendulang suara dari pemilih mengambang.

- Dukungan dari partai politik yang moderat seperti Partai Demokrat (PD) atau parati lain dari jenis golongan partai oportunis.

Dalam konteks ini,  PD dan partai oportunis menjadi cukup menentukan tetapi tidak mengukuhkan gagasan politik bermartabat. Sebab, ke depan warna politik agaknya dikuatkan oleh identitas dan keberpihakan pada nilai politik yang diyakini. Sedangkan politik oportunis jelas hanya berpihak pada kepentingan kekuasaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement