Kamis 28 Dec 2017 04:04 WIB

Pers Nasional Dulu dan Kini di Mata Harmoko

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Bilal Ramadhan
Harmoko dan Soeharto
Foto: adibsusilasiraj.blogspot.com
Harmoko dan Soeharto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini, kita tak kenal dengan yang namanya Menteri Penerangan. Pun begitu dengan era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Semasa Orde Baru, barulah kita biasa mendengar Menteri atau Kementerian Penerangan. Pada era pemerintahan Presiden Gus Dur, Kementerian Penerangan dihapuskan bersama dengan beberapa kementerian lainnya.

Jika bicara soal Menteri Penerangan, maka yang teringat adalah Harmoko. Dan Harmoko, lekat dengan kalimat "menurut petunjuk Bapak Presiden". Kalimat ikonik tersebut kerap diucapkan Harmoko saat menyampaikan keterangan dari pemerintah kepada publik.

Nama Harmoko melejit sejak Presiden Soeharto menunjuknya menjadi Menteri Penerangan selama kurang lebih 14 tahun. Ia mulai menjabat sebagai pemimpin di kementerian yang berhak mengeluarkan Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP) bagi media sejak 1983 hingga 1997.

Pria yang bisa dikatakan sebagai salah satu tokoh pers Nasional itu pada Februari 2018 mendatang berusia 79 tahun. Ia telah memasuki usia senja. Meski begitu, Harmoko masih tampak segar. Setidaknya, seperti itu pada saat Republika bertemu dengan Harmoko di kediamannya di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan.

Ditemani secangkir teh hangat dan serabi Solo, kami berbincang soal perkembangan pers Indonesia dan lahirnya Republika 25 tahun yang lalu. Harmoko masih ingat bagaimana kelahiran Republika ketika ia menjabat sebagai Menteri Penerangan.

Harmoko menjelaskan tentang perkembangan pers Indonesia terlebih dahulu. Di atas kursi rodanya, Harmoko mengatakan, pers Indonesia dewasa ini telah mengalami kebebasan yang luar biasa. Menurutnya, itu dimungkinkan karena memang merupakan kebutuhan zaman.

"Lain zaman, lain pula cara pers menggunakan kebebasannya. Tetapi, kebebasan seperti apa pun, sesungguhnya tetap memiliki batasan-batasan," ujar Harmoko di ruang tamunya.

Ia kemudian bertutur tentang perkembangan pers sejak Orde Lama, Orde Baru, hingga era reformasi. Pada era Orde Lama, pers dijadikan alat untuk mencari pengaruh dalam hal ideologi dana politik. Bisa jadi, kata dia, itu karena bangsa dan negara Indonesia sedang mencari format berbangsa dan bernegara.

"Untuk itu, pers dijadikan alat untuk memfitnah, adu domba, membenarkan rasa kebencian, dan sejenisnya," lanjutnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement