Jumat 22 Dec 2017 06:06 WIB

Fatwa, Man in Action

Nasihin Masha (tengah)
Foto: Republika/Darmawan
Nasihin Masha (tengah)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nasihin Masha

Nama AM Fatwa pertama saya dengar adalah pada saat saya kelas 2 SMA. Ya, tak lama setelah peristiwa tragedi Tanjung Priok, September 1984. Lembaran Putih, yang bercerita tentang tragedi itu dan menuntut dibentuknya tim pencari fakta, beredar dari tangan ke tangan dalam bentuk fotokopian. Kakak kelas saya di SMAN 2 Cirebon menawari kopian tersebut. Namun tunggu punya tunggu, saya tak juga mendapatkannya. Mungkin dia takut atau dia berbohong bahwa dirinya punya atau bisa jadi ia lupa.

Saat itu Fatwa adalah sekretaris Kelompok Kerja Petisi 50 – sebuah kelompok para orangtua yang bersikap kritis terhadap Orde Baru. Fatwa juga salah satu penanda tangan petisi tersebut. Saat itu usianya 45 tahun. Ia orang yang dekat dengan Ali Sadikin, salah satu pentolan Petisi 50. Ia memiliki kedekatan dengan Bang Ali sejak di Marinir dan juga ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta. Fatwa memang seorang aktivis. Awalnya aktif di Pelajar Islam Indonesia, lalu aktif di Himpunan Mahasiswa Islam. Ia sudah mengenal penjara sejak Orde Lama, masa Demokrasi Terpimpin, gara-gara mengkritik Bung Karno. Sebagai seorang pendukung Masyumi ia tak terima atas pemenjaraan, penangkapan, dan penyiksaan terhadap aktivis Masyumi. Mereka diperlakukan seperti itu hanya karena perbedaan politik, bukan karena kesalahan apapun.

Sikapnya yang tegas terhadap ketidakbenaran dan kesewenang-wenangan terus berlanjut. Perbedaan sikap dan pandangan terhadap penerapan asas tunggal berujung pada provokasi dan kemudian pembantaian oleh aparat militer terhadap demonstran. Kendati Lembaran Putih itu adalah produk Petisi 50, namun yang dipenjara hanya AM Fatwa, mantan menteri HM Sanusi, dan mantan pangdam Siliwangi HR Dharsono. Fatwa divonis bersalah 18 tahun penjara, yang kemudian dijalani separonya. Tuduhannya sangat serius: merongrong dan menyelewengkan ideologi Pancasila, merongrong pemerintahan yang sah, dan menyebarkan perpecahan dan permusuhan di masyarakat.

Beruntung saya kemudian mengenalnya. Fatwa, seorang tokoh senior namun sangat ramah, sederhana, dan rendah hati. Ketika saya meliput Petisi 50 di rumah Bang Ali di Jl Borobudur, kawasan Menteng, Bang Ali mengenalkan salah satu reporter RCTI yang meliput acara itu: Dian Islamiati. “Ini anak Fatwa,” katanya mengenalkan ke semua wartawan yang meliput. Dian yang saat itu masih ramping tersenyum, ada rasa bangga. Saya yang mengagumi ayahnya membatin, oh ini anak Pak Fatwa. Namun kegembiraan saya yang tak terhingga adalah ketika saya menjadi redaktur pelaksana. Fatwa datang ke kantor Republika bersama Lukman Hakiem, politisi PPP dan aktivis DDII. Saat itu pemimpin redaksinya adalah Tommy Tamtomo. Tentu saya sudah mengenal keduanya dengan baik. Fatwa sering menelepon untuk menyampaikan pendapatnya.

Di masa tuanya, Fatwa memperjuangkan para tokoh Masyumi untuk menjadi pahlawan nasional. Ya, mereka sangat layak. Jauh lebih layak daripada para penerima bintang mahaputra zaman kini yang punya hak dikubur di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Fatwa memperjuangkan M Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, Prawoto Mangkusasmito, AR Baswedan, KHA Kahar Mudzakkir. Setiap tahun, bersama tim, Fatwa memperjuangkannya satu per satu. Harus diakui Fatwa menjadi motor paling penting dalam perjuangan tersebut. Yang belum tercapai adalah memperjuangkan Kasman, salah satu anggota PPKI dan komandan PETA Jakarta di saat proklamasi. Ia juga belum berhasil memperjuangkan Baswedan, mantan anggota BPUPK, dan pejuang sejak masa Belanda.

Fatwa dan tim melakukan serangkaian kegiatan yang sistematis: seminar, penerbitan buku, kerja sama media, dan tentu lobi politik ke berbagai pihak. Nah, dalam urusan media ini Fatwa dan tim datang ke Republika. Kami bekerja sama membuat rubrik bersama dan juga pemberitaan tentang berbagai kegiatannya. Sebagai generasi yang lebih muda, saya dan tentu saja seluruh tim di Republika menyambut gembira ajakan tersebut. Tanpa diminta pun itu sudah menjadi kewajiban Republika sebagai media umat. Karena itu ajakan itu menjadi suatu kehormatan tersendiri.

Fatwa adalah cadas. Ia berani bersikap jika ia meyakini suatu kebenaran. Tak ada yang ia takuti. Di antaranya adalah penolakannya terhadap rumusan “Empat Pilar”: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Ini bukan soal perbedaan partai. Ya kebetulan itu adalah sikap PDIP dan diputuskan ketika Taufiq Kiemas sebagai ketua MPR. Ia memiliki argumen yang benar, walaupun saat itu ia berjuang sendirian. Pancasila itu bukan pilar, Pancasila adalah dasar filsafat negara (Philosofische Grondslag) seperti yang dirumuskan para Bapak Bangsa saat sidang BPUPK – Pancasila adalah dasar negara. Dan Fatwa benar. Mahkamah Konstitusi akhirnya menganulir istilah empat pilar tersebut. Sikap Fatwa yang juga sendirian adalah ihwal 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila, yang terus diperjuangkan PDIP sejak reformasi. Bagi Fatwa hari lahir Pancasila adalah 18 Agustus 1945. 1 Juni adalah lahirnya istilah Pancasila, sedangkan rumusan Pancasila yang kita kenal saat ini lahir pada 18 Agustus. Pendapat serupa juga didukung Yusril Ihza Mahendra. Karena itu, di masa SBY usulan itu belum berhasil dan baru gol di masa Jokowi. Itulah politik. Namun Fatwa telah bersikap.

Dalam konteks saat ini, dibandingkan dengan rekan-rekan segenerasinya yang berjuang lewat pemikiran, Fatwa berjuang lewat tindakan. Dalam politik, tindakan menjadi jelas jika hitam-putih. Karena itu ia menghadapi risiko ditangkap dan disiksa serta dipenjarakan. Penyakit yang dideritanya yang membawa pada kematiannya – liver – pun berawal dari penjara. Ia tak mendapat perawatan yang cukup. Telinganya mengalami gangguan pendengaran. Pinggang dan tulang belakangnya juga mengalami gangguan. Itulah risiko-risiko yang ia hadapi. Belum lagi derita yang dialami keluarganya. Mereka kehilangan suami dan ayah, kehilangan pelindung dan pencari nafkah. Padahal anak-anaknya di masa pertumbuhan. Itulah risiko mengukuhi sebuah sikap dan keyakinan.

Namun Fatwa orang yang fokus pada perjuangan. Bukan hanya berani menghadapi risiko apapun, tapi juga tak memiliki dendam. Perjuangan dan keyakinannya tak hendak dikotori oleh hati yang busuk. Ia tetap bisa menjalin silaturahim dengan orang-orang yang justru telah menyakitinya. Kemanusiaannya tidak luntur oleh perbedaan politik. Kesejatian sikap dan perjuangannya justru tampak ketika ia mampu memaafkan orang-orang yang telah berbuat aniaya terhadap dirinya. Ia bisa tetap menjaga hubungan baik dengan Soeharto, LB Moerdani, AM Hendropriyono, dan lain-lain. Saat di penjara, ia juga luwes bergaul dengan narapidana PKI yang dulu menjadi lawan politiknya. Sebagai Man in Action, Fatwa sangat produktif menulis buku. Ia menulis pemikirannya dan catatan tentang langkah-langkahnya, bahkan saat keluar penjara ia menulis ‘skripsi’ tentang Pancasila. Namun sayang ia belum sempat menerbitkan memoirnya yang lengkap yang sedang ia garap di saat-saat akhir hidupnya.

AM Fatwa telah meninggalkan kita semua pada Kamis, 14 Desember 2017, dalam usia 78 tahun. Keteguhan sikap, keberanian bertindak, dan kemampuannya menjaga silaturahim adalah keteladanan Fatwa. Selamat jalan, semoga husnul khotimah....

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement