REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA - Saksirnaning dumadi, mung namane ingkang kantun, ala pocapan ala, becik pocapan ing becik. Pepatah Jawa tersebut memiliki arti kurang lebih, "Setelah manusia meninggal, hanya nama yang tersisa, perbuatan buruk akan dikatakan buruk, baik akan dikatakan baik". Meski sederhana, ajaran tersebut diturunkan dari satu adipati ke adipati berikutnya di Kadipaten Pakualaman Yogyakarta sebagai landasan kepemimpinan. Bahkan falsafah ini juga menjadi prinsip bagi raja-raja Jawa lainnya. Para pemimpin diingatkan bahwa seluruh perilaku pemimpin akan terus dicatat sebagai bagian dari sejarah di masa berikutnya. Kebaikan akan menyisakan kebaikan, serta keburukan juga akan meninggalkan keburukan.
Belum banyak masyarakat yang secara mendalam memahami kekayaan budaya yang dimiliki Pura Pakualaman Yogyakarta. Padahal, Kadipaten Pakualaman merupakan satu wilayah otonom bersama tiga kerajaan Dalem Mataram lainnya, yakni Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran di Solo, serta Kasultanan Ngayogyakarta di Yogyakarta.
Untuk menyusun kembali dan merekam jejak kekayaan sastra yang dimiliki Pura Pakualaman, pihak kerajaan meluncurkan buku berjudul 'Ajaran Kepemimpinan Asthabrata', yang ditulis sendiri oleh KGPAA Paku Alam X selaku raja yang bertahta saat ini. Paku Alam X menyebutkan, buku ini disusun berdasarkan naskah-naskah yang disusun sejak pemerintahan Paku Alam I hingga Paku Alam IX.
Namun dari berbagai model kepemimpinan, konsep Asthabrata yang berasal dari Kakawin Ramayana, berupa ajaran kepemimpinan Rama kepada adiknya, Barata, mendapatkan perhatian khusus dari para adipati yang bertahta di Pura Pakualaman. Total, terdapat 12 teks naskah yang mencoba menjelaskan Asthabrata.
"Hal ini mendorong saya memberanikan diri menulis buku ini. Sekaligus mengajak para pemimpin saat ini, mengkaji lagi pemikiran para pujangga Jawa, khususnya pujangga Pakualaman," ujar Paku Alam X, Jumat (15/12).
Melalui buku ini, Paku Alam X mencoba menyajikan model kepemimpinan Jawa berdasarkan watak para dewa kelompok lokapala (penjaga alam semesta). Kedelapan dewa yang dipaparkan yakni, Batara Indra, Batara Yama, Batara Surya, Batara Candra, Batara Bayu, Batara Wisnu, Batara Brama, dan Batara Baruna.
"Seluruh karakter menyampaikan nilai luruh kepemimpinan yang dipraktekkan dalam kerajaan-kerajaan Jawa," ujar Paku Alam X.
Abdi Dalem Perpustkaan Pura Pakualaman, Nyi M.W. Sestromurti (Ratna Mukti Rarasasri) menjelaskan bahwa peluncuran buku sekaligus menjadi solusi dalam menjaga pemikiran-pemikiran luhur yang pernah dicatat dalam manuskrip-manuskrip kuno milik kerajaan. Apalagi, lanjutnya, rata-rata manuskrip yang dimiliki Pura Pakualaman berusia 150 tahun. Pihak perpustakaan harus berlomba dengan waktu untuk bisa melakukan alih-aksara sekaligus alih-bahasa bagi seluruh manuskrip dan buku beraksara Jawa yang ada di Pura Pakualaman.
"Indonesia belum ada bidang ilmu khusus konservasi naskah. Naskah tua sendiri kalau dibuka terus menrus juga rusak. Jadi idealnya adalah didigitalisasi," ujar Sestromurti.
Menurutnya, Asthbrata oleh delapan dewa yang disajikan dalam buku 'Ajaran Kepemimpinan Asthabrata' ini masih sangat relevan diterapkan di pemerintahan modern saat ini.
"Ajaran kepemimpinan seperti berbuat adil sudah ada sejak dulu. Lalu soal kebaikan. Pemimpin harus memiliki sifat seperti Batara yang disebutkan. Ini lah kebudayaan asli kita," katanya.