Jumat 15 Dec 2017 09:11 WIB

Putusan Praperadilan Setya Novanto Kuatkan KPK

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Elba Damhuri
Foto kombo ekspresi terdakwa kasus dugaan korupsi KTP elektronik Setya Novanto mengikuti sidang perdana di gedung Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (13/12).
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Foto kombo ekspresi terdakwa kasus dugaan korupsi KTP elektronik Setya Novanto mengikuti sidang perdana di gedung Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (13/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hakim Tunggal Kusno menggugurkan praperadilan jilid kedua yang diajukan Ketua Dewan Perwakilan Nonaktif Setya Novanto. Dalam putusannya, Hakim mengatakan, penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Novanto dalam kasus korupsi KTP-el sudah tepat.

"Menyatakan penetapan tersangka Setya Novanto yang diajukan pemohon gugur," ujarnya saat membacakan putusan di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (14/12).

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif bersyukur atas putusan Hakim Tunggal Kusno, yang menggugurkan praperadilan yang diajukan oleh Novanto. "Alhamdulilah, kita hormati putusan (praperadilan) dengan putusan ini perkara pokok bisa terus dilanjutkan di Pengadilan Tipikor," kata Syarif dalam pesan singkatnya, Kamis (14/12).

Ia melanjutkan, digugurkannya gugatan praperadilan dan diterimanya eksepsi yang diberikan pihak KPK kepada Hakim Tunggal Kusno, membuktikan memang penetapan tersangka yang dilakukan KPK sudah sesuai dengan aturan dan sah berdasarkan hukum.

Hakim dalam putusannya menimbang keberadaan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, yang telah diperjelas melalui keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU/XIII/2015. Di dalamnya dinyatakan, untuk menghindari adanya perbedaan penafsiran sebagaimana diuraikan di atas, demi kepastian hukum dan keadilan, perkara praperadilan dinyatakan gugur pada saat setelah digelar sidang pertama terhadap perkara pokok atas nama terdakwa atau pemohon praperadilan.

Hakim melanjutkan, menurut mahkamah, penegasan inilah yang sebenarnya sesuai dengan hakikat praperadilan dan sesuai pula dengan semangat yang terkandung dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP. "Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut demi terciptanya kepastian hukum mahkamah perlu memberikan penafsiran mengenai batas waktu yang dimaksud pada norma a quo, yaitu permintaan praperadilan dinyatakan gugur ketika telah dimulainya sidang pertama terhadap pokok perkara yang dimohonkan praperadilan," katanya.

Seperti diketahui, pada Rabu (13/12), Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi membuka persidangan perkara korupsi KTP-elektronik dengan agenda pembacaan dakwaan untuk Novanto. Dalam putusannya, Hakim juga menolak seluruh eksepsi dari pemohon dan memerintahkan termohon dalam hal ini KPK untuk melanjutkan perkara yang menjerat Novanto.

Sebelum membacakan putusan, Hakim menerima terlebih dahulu kesimpulan dari tim Biro Hukum KPK yang terdiri atas bukti, jawaban atas permohonan, keterangan ahli, dan penjelasan tentang acara pidana yang menyebabkan praperadilan gugur. Sementara itu, kuasa hukum Novanto, yang diwakili Ida Jaka Mulyana, mengatakan tidak memberikan kesimpulan.

Dalam persidangan, Rabu (13/12), Novanto didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1. Menurut Jaksa KPK Irene Putri, Novanto menerima total uang suap sebesar 7,3 juta dolar AS.

Novanto mengajukan gugatan praperadilan pada 15 November 2017 lalu. Langkah ini ditempuh setelah ditetapkan kembali menjadi tersangka oleh KPK dalam kasus yang sama. Sebelumnya, bekas Ketua Umum Partai Golkar itu pernah berhadapan dengan KPK dalam praperadilan yang dipimpin hakim tunggal Cepi Iskandar. Akan tetapi saat itu, Novanto memenangkan perkara.

Salah seorang anggota tim kuasa hukum Novanto, Nana Suryana menghargai dan menghormati putusan Hakim Tunggal Kusno. "Jadi memang sesuai yang disampaikan oleh hakim praperadilan kemarin bahwa hari ini disampaikan putusan bahwa memang dan secara nyata dan fakta memang pokok perkara sidang mulai disidangkan di pengadilan tipikor. Maka mengacu Pasal 82 ayat 1 huruf d dikaitkan putusan MK 102/2015, putusan ini jadi gugur karena pokok perkara sudah diperiksa di pengadilan tipikor," ujar Nana di PN Jaksel.

Saat ditanyakan terkait langkah kuasa hukum yang tidak memberikan kesimpulan, Nana menjelaskan, hal tersebut bukan karena sudah mengetahui putusan Hakim. "Kesimpulan merupakan hak. Ada boleh atau tidak disampaikan juga tidak apa-apa. Kesimpulan itu subjektif masing-masing pihak. Kami sebagai pemohon pasti kami nyatakan apa yang kami gugat benar, begitu juga termohon menyatakan apa yang kami gugat tidak benar," katanya.

Sudah sesuai

Anggota Tim Biro Hukum KPK Efi Laila menilai, putusan Hakim Tunggal Kusno menggugurkan gugatan praperadilan yang diajukan Novanto sudah sesuai aturan yang ada. "Memang untuk kepastian hukum, praperadilan harus dinyatakan gugur. Karena sesuai dengan Pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP, ketika praperadilan belum selesai, tapi perkara pokok limpah (ke pengadilan). maka harus gugur," ujar Efi di PN Jaksel, Kamis (14/12).

Menurut dia, putusan gugurnya praperadilan bukan hanya yurisprudensi. Sebab, ketentuannya sudah tertuang seperti itu di dalam Pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP. "Dan hakim menyatakan bahwa di putusan MK menyatakan ketika sidang perdana dibuka sementara praperadilan belum selesai maka hakim harus menggugurkan permohonan praperadilan," kata Efi.

Ihwal kuasa hukum Novanto yang merasa sidang praperadilan dipaksakan waktunya, Efi memiliki penilaian tersendiri. Menurut dia, proses praperadilan sudah sesuai dengan aturannya, yakni diputus paling lama tujuh hari. "Hakim sudah tawarkan sejak awal. Kemarin (Rabu, 13 Desember 2017) juga ditawarkan, apakah akan ajukan kesimpulan atau tidak. Jadi selalu ditawarkan kepada pemohon dan termohon sehingga tidak ada pemaksaan," ujar Efi.

(Pengolah: muhammad iqbal).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement