Jumat 15 Dec 2017 05:00 WIB

Generasi Bebas Korupsi

Dadang Solihin
Foto: istimewa
Dadang Solihin

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dadang Solihin *)

Tidak ada yang memungkiri kalau praktik korupsi di negeri ini, sudah begitu masif terjadi. Semasa orde reformasi, desentralisasi korupsi menjadi hal yang sangat memprihatinkan di negeri berpenduduk lebih dari 260 juta jiwa ini. Merajalelanya korupsi ini turut distimulasi karena adanya distribusi kekuasaan yang tidak lagi tersentralisasi di pusat.

Rasanya, sudah tidak terhitung telah berapa banyak aparatur negara di level daerah hingga pejabat tinggi negara yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lalu, di layar kaca televisi, kita menyaksikan pula bagaimana para pelaku korupsi seperti tidak memiliki rasa malu terhadap perbuatan yang telah mereka lakukan. Kita melihat bagaimana mereka masih bisa tersenyum, bersilat lidah, bahkan menggunakan kekuasaannya untuk menyerang balik institusi KPK.

Fenomena ini seakan menguatkan hasil riset Harvard Bussiness Review yang dirilis pada Oktober 2017. Riset tersebut memperlihatkan bahwa indeks persepsi korupsi (Corruption Perseption Index/CPI) di Indonesia masih tinggi, yakni berada di angka 37 dari rentang 0-100. Dari riset tersebut, CPI yang dimiliki Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan Malaysia yang memiliki angka 50. (Tempo.co, 25 Oktober 2017)

Dengan adanya fakta ini, haruskah kita berdiam diri saja ketika menyaksikan para pelaku kejahatan korupsi semakin merajalela menjarah uang negara? Penulis yakin bahwa tidak ada satu pun masyarakat di negeri ini yang rela membiarkan praktek korupsi semakin tumbuh subur.

Namun, fakta juga memperlihatkan kalau pemerintah Indonesia memiliki cara yang berbeda dengan Cina dalam memerangi korupsi. Jika Cina bisa secara tegas dan berani menghukum mati para terdakwa korupsi, maka tidak demikian halnya di Indonesia. Dan maaf, bisa dibilang penegakan hukuman kepada para pelaku korupsi di negeri ini masih terkesan permisif.

Inilah tantangan yang tidak mudah dalam memerangi korupsi di negeri yang kita cintai. Ketika efek jera tidak diberikan kepada para pelaku korupsi maka perlu ada usaha yang lebih keras lagi untuk melawan dan memerangi korupsi.

Sejauh ini, usaha dari kelompok-kelompok civil society rasanya sudah cukup banyak dilakukan. Gerakan dan kampanye yang dilakukan itu pada umumnya lebih bersifat pencegahan. Langkah tersebut tentunya harus terus diperkuat dan diperkaya dalam implementasi dan pendekatannya.

Pendidikan antikorupsi

Berkaitan dengan pencegahan korupsi tersebut, maka institusi pendidikan memiliki pula peran sangat penting. Namun, pendidikan antikorupsi yang dikembangkan di institusi pendidikan sudah seharusnya tidak dikemas secara monolog dan text book di ruang-ruang kelas saja. Institusi pendidikan tinggi, sudah seharusnya melakukan pengkayaan dalam mengemas pendidikan antikorupsi menjadi bentuk-bentuk yang aplikatif.

Langkah aplikatif ini perlu dilakukan karena dalam memerangi korupsi itu sesungguhnya diperlukan tiga hal utama. Ketiganya adalah membangun kesadaran diri, membangun keteladan diri, serta membangun keberanian untuk bersikap tegas dalam melawan setiap praktek korupsi.

Kesadaran diri yang perlu dibangun bahwa korupsi adalah kejahatan kemanusiaan yang bersifat extraordinary crime. Kesadaran ini harus terus ditumbuhkan sejak di bangku-bangku perkuliahan sebagai modal tameng diri untuk melawan korupsi.

Lalu, dengan begitu masifnya praktek korupsi di Indonesia, hal ini tidak lepas karena semakin menurunnya sikap keteladanan diri dari para pemimpin. Hampir dari seluruh pelaku korupsi di negeri ini adalah para pemilik atau yang dekat dengan sumber kekuasaan. Ketika seorang pejabat tersangkut korupsi, di sanalah keteladanan diri itu terlacur dan pada saat yang sama mereka sesungguhnya telah memberikan contoh buruk kepada pengikut serta generasi penerusnya.

Inilah yang sekarang menjadi virus di Indonesia. Virus ini sesungguhnya pernah menjangkiti Cina ketika para penguasa di sana memiliki slogan getting rich is glorious. Slogan ini kemudian mendorong menghalalkan segala macam cara untuk meraih kejayaan dan kekuasaan. Virus semacam ini harusnya dilawan karena kekuasaan itu sesungguhnya amanah yang harusnya dijaga lewat keteladanan sikap dan tindakan.

Sedangkan, keberanian bersikap ini sudah sepatutnya ditanamkan sejak dini di ruang-ruang kelas pembelajaran. Generasi muda sekarang setidaknya dapat mencontoh keberanian sikap semacam Novel Baswedan atau mendiang Baharuddin Lopa yang pernah dikenal sebagai figur pemberani melawan korupsi di era Orde Baru dan masa transisi Reformasi.

Ketiga hal tersebut tentunya tidak hanya bisa disampaikan secara teoritis lewat text book di ruang-ruang kelas. Untuk menginternalisasikan ketiga kesadaran itu ke setiap individu -- dalam hal ini mahasiswa sebagai generasi muda -- perlu diperbanyak praktek yang bersifat aplikatif.

Cara paling sederhana bisa dimulai dari organisasi kemahasiswaan. Setiap ketua dan pengurus organisasi harus berani berkomitmen untuk membuat janji semacam pakta integritas dan sikap antikorupsi dalam mengelola organisasi. Langkah semacam ini tentunya harus mendapat support dari pihak rektorat sebagai pengelola resmi institusi pendidikan tinggi. Adanya pengakuan legal ini diharapkan akan menumbuhkan kesadaran para mahasiswa agar sejak dini berani bersikap antikorupsi dan berani melawan korupsi.

Cara lainnya dapat pula dilakukan dengan memberikan ruang lebih besar kepada para pegiat antikorupsi untuk secara intens berinteraksi dengan kalangan civitas academica. Interaksi ini diharapkan bisa melahirkan program-program edukatif dalam upaya memerangi dan melawan korupsi. Jika KPK sudah mencoba mendorong lahirnya kantin kejujuran di sekolah dasar maka perguruan tinggi bisa juga melahirkan program berani jujur kepada para civitas academica-nya.

Selanjutnya, hal yang tidak kalah pentingnya adalah memperbanyak riset yang berkaitan dengan upaya menumbuhkan gerakan sikap antikorupsi. Pendekatan riset ini harus bersifat lintas keilmuan dan terintegrasi. Simulasi-simulasi yang dibangun lewat riset itu setidaknya bisa dikembangkan lebih lanjut melalui program pendampingan di masyarakat yang bersifat nyata.

Harapannya, dengan adanya pendidikan antikorupsi yang bersifat terapan di lingkungan institusi pendidikan tinggi, hal ini bisa menjadi semacam pembekalan bagi para mahasiswa sebelum mereka terjun ke masyarakat. Inilah 'jalan alternatif' yang bisa dilakukan dalam memerangi korupsi ketika pengelola negara ini masih 'setengah hati' untuk memberangus virus korupsi. Semua harapan itu hanya bisa diberikan kepada generasi muda yang telah tercerahkan isi kepalanya serta perilakunya dari virus-virus korupsi.

Lalu, akankah semua itu hanya menjadi utopia saja? Penulis tetap yakin semua itu akan bisa terwujud ketika kita semua bersama-sama terus berikhtiar untuk membangun generasi bebas korupsi tanpa pernah mengenal kata menyerah. Dan, marilah kita awali langkah kecil memerangi korupsi itu dari diri kita masing-masing untuk bersedia menjadi pejuang antikorupsi.

*) Rektor Universitas Darma Persada, Alumni Lemhannas angkatan 49

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement