Ahad 10 Dec 2017 12:33 WIB

NTB Deklarasi Gerakan Stop Perkawinan Anak

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Hazliansyah
Provinsi NTB deklarasikan gerakan setop perkawinan anak di Taman Budaya NTB, Jalan Majapahit, Mataram, NTB, Ahad (10/12).
Foto: Republika/Muhammad Nursyamsi
Provinsi NTB deklarasikan gerakan setop perkawinan anak di Taman Budaya NTB, Jalan Majapahit, Mataram, NTB, Ahad (10/12).

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak dideklarasikan di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Gerakan bersama ini diinisiasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Pemprov NTB, dan puluhan LSM.

Deputi Menteri Bidang Tumbuh Kembang Anak KPPA Lenny Rosalin mengatakan, berdasarkan data UNICEF, Indonesia menempati urutan ketujuh di dunia dan kedua tertinggi di ASEAN dalam kasus perkawinan anak.

Lenny menilai, perkawinan anak merupakan bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap anak, serta pelanggaran terhadap hak anak, khususnya hak menikmati kualitas hidup yang baik dan sehat, serta hak untuk berkembang sesuai usianya.

"BPS dan UNICEF juga mencatat indikasi pernikahan anak di Indonesia hampir terjadi di semua wilayah. Angka perkawinan usia anak atau di bawah 18 tahun sudah mencapai 23 persen dengan perkawinan usia anak di daerah perdesaan sepertiga lebih tinggi dibandingkan di daerah perkotaan," ujar Lenny dalam deklarasi gerakan setop perkawinan anak di Taman Budaya NTB, Ahad (10/12).

Menurut Lenny, perkawinan anak merupakan pelanggaran terhadap hak anak, khususnya hak untuk menikmati kualitas hidup yang baik dan sehat, serta hak untuk tumbuh dan berkembang sesuai usianya.

Akibat dari perkawinan anak ini sangat berdampak besar terutama pada perempuan. Lenny menyebutkan, perkawinan anak perempuan berusia 10-14 tahun memiliki risiko lima kali lebih besar untuk meninggal dalam kasus kehamilan dan persalinan dibanding usia 20-24 tahun dan secara global kematian yang disebabkan oleh kehamilan terjadi pada anak perempuan dengan usia 15-19 tahun.

"Dampak kesehatan bayi yang dilahirkan perempuan di bawah umur pun memiliki risiko kematian lebih besar yaitu dua kali lipat sebelum mencapai usia satu tahun," lanjut Lenny.

Risiko lain yang tidak dapat diabaikan ialah hilangnya kesempatan mendapatkan pendidikan, risiko ancaman dari penyakit reproduksi seperti kanker servik, kanker payudara dan juga hidup dalam kegaduhan keluarga karena ketidaksiapan mental dalam membangun keluarga, sehingga menimbulkan perceraian.

Lenny berharap melalui Gerakan Stop Perkawinan Anak ini, revisi UU nomor 1/1974 tentang perkawinan yang mencantumkan batas usia minimal perkawinan perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun akan dapat diwujudkan.

Menurutnya, melindungi anak dari praktik perkawinan ini tidak hanya menjadi tanggung jawab KPP-PA saja, namun membutuhkan peran serta dari 4 pilar pembangunan yaitu lembaga masyarakat, dunia usaha, maupun media dalam menghentikan praktik perkawinan pada usia anak.

Lenny menambahkan, KPPPA juga telah melakukan sejumlah upaya guna menghentikan pernikahan anak, salah satunya diintegrasikan lewat program Kabupaten dan Kota Layak Anak. Lenny menjelaskan terdapat 31 indikator yang dijabarkan dari konvensi hak anak yang harus dipenuhi untuk menjadi kota layak anak.

"Salah satu indikatornya adalah angka usia perkawinan pertama di bawah 18 tahun. Indikator lain, adanya forum anak, di tingkat kabupaten/kota, kecamatan maupun desa/kelurahan. Lewat forum anak, seorang anak diharapkan dapat menjadi pelopor sekaligus pelapor atas praktik pernikahan anak yang terjadi di lingkungannya," ungkap Lenny.

NTB menjadi daerah kelima yang deklarasikan gerakan setop perkawinan anak setelah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement