Ahad 03 Dec 2017 20:56 WIB

Memupuk Kebinekaan Melalui Tradisi Perang Topat

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Elba Damhuri
Umat Islam dan Hindu di Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) menggelar Perang Topat di Kompleks Pura Lingsar pada Ahad (3/12) sore.
Foto: Republika/Muhammad Nursyamsi
Umat Islam dan Hindu di Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) menggelar Perang Topat di Kompleks Pura Lingsar pada Ahad (3/12) sore.

REPUBLIKA.CO.ID, LOMBOK BARAT -- Kebinekaan menjadi isu yang menghangat dalam beberapa tahun terakhir. Beragam retorika menjaga kebinekaan menyeruak tajam dalam berbagai kegiatan.

Dari sebuah kecamatan di Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), kebinekaan bukan sekadar kata-kata, melainkan wujud nyata yang tergambar dalam setiap perilaku masyarakatnya.

Kecamatan Lingsar namanya. Berjarak hanya sekitar 7 Km dari Kota Mataram, masyarakat Lingsar memiliki tradisi unik bertajuk 'Perang Topat'. Tradisi saling melemparkan ketupat berukuran mini antara umat Islam dan Hindu yang tersaji di Pura dan Kemaliq Lingsar telah berlangsung lama.

Tak sekadar saling lempar ketupat, beragam sajian tari mengiringi prosesi ini, mulai Tari Rudat, Tari Gendang Beleq, Tari Anjani, hingga Tari Perdamaian. Lautan manusia

Bupati Lombok Barat Fauzan Khalid mengatakan, perang topat merupakan tradisi yang terus dilestarikan. Menurut Fauzan, dalam tradisi ini terkandung empat pilar bangsa, seperti Pancasila, UUD, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.

"Orang-orang bicara Pancasila, NKRI, dan UUD. Pada hari ini kita tak sekadar bicara, tapi memberi contoh kepada seluruh anak bangsa bahwa kita di tempat ini praktikan empat pilar tersebut," ujar Fauzan di Pura Lingsar, Lombok Barat, NTB, Ahad (3/12).

Fauzan menjelaskan, perang topat merupakan perang yang dilakukan dengan penuh kegembiraan oleh dua unsur agama yakni Hindu dan Islam, dan dua suku antara Sasak dan Bali. Dalam sejarahnya, lanjut Fauzan, perang ini dibuat leluhur sebagai ajang menjaga budaya toleransi dan silaturahmi di antara kedua suku dan agama tersebut.

"Konon dulu pada waktu orang Hindu mau datang ke Lombok, orang Islam di Lingsar sudah siap dengan segala senjata untuk menghalau orang Hindu, tapi karena kebijakan tokoh Islam di sini, tombak itu diminta diubah dengan topat, kemudian peperangan terjadi (perang topat)," lanjut Fauzan.

Fauzan menambahkan, Pura dan Kemaliq Lingsar menjadi simbol toleransi kerukunan umat beragama. Berbeda dengan pura-pura di Bali, pura di Lingsar ini terdapat sebuah kemaliq atau sebuah mushala yang menjadi tempat peribadatan umat Islam.

"Kebinekaan menjadi nafas masyarakat Lingsar, dan Lombok Barat semoga dapat ditularkan ke NTB dan Indonesia," ucap Fauzan.

Setelah berperang, masyarakat kerap membawa topat sebagai penyubur tanaman di areal pertanian. Bagi Fauzan, topat tak semata menjadi penyubur tanaman, melainkan juga penyubur perdamaian di Bumi Lombok Barat.

"Topat menjadi pupuk untuk benih-benih perdamaian dan kebinekaan," kata Fauzan menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement