Kamis 30 Nov 2017 10:17 WIB

Gunung Agung Semburkan Gas SO2 yang Mematikan

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Nur Aini
Erupsi Gunung Agung. Erupsi magmatik Gunung Agung terpantau dari kawasan Amed, Bali, Selasa (28/11).
Foto: Republika/ Wihdan
Erupsi Gunung Agung. Erupsi magmatik Gunung Agung terpantau dari kawasan Amed, Bali, Selasa (28/11).

REPUBLIKA.CO.ID, KARANGASEM -- Satelit Suomi National Polar-orbiting Partnership (Suomi-NPP) milik NASA menemukan kandungan SO2 dalam konsentrasi tinggi dari Gunung Agung sejak 27 November 2017. Ini menyebabkan perubahan magnitud dan sebaran SO2 di Pulau Bali.

Pergerakan SO2 ke barat ini juga dipengaruhi tarikan siklon tropis Cempaka di selatan Pulau Jawa. Sejak 28 November, semburan SO2 di puncak gunung sedikit berkurang. "Sekarang sudah normal, meski masih fluktuatif. Tapi yang jelas gunung berapi ini belum akan meletus (letusan magmatik) untuk saat ini," kata ahli vulkanologi di University of Pittsburgh, Janine Krippner, dilansir dari laman NASA, Kamis (30/11).

Krippner mengatakan hal yang menjadi kekhawatiran sekarang adalah lava semakin mendekati permukaan kawah. Tipikal kawah Gunung Agung yang berbentuk ceruk terbuka bisa menyebabkan aliran lava mematikan jika letusan besar seperti yang terjadi pada 1963.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mencatat Gunung Agung menghasilkan sekitar 600 ton gas SO2 saat meletus freatik 21 November 2017. Kepala Subbidang Mitigasi Pemantauan Gunung Api Wilayah Timur PVMBG, Devy Kamil Syahbana mengatakan volumenya menjadi 10 kali lipat atau sekitar enam ribu ton SO2 pada 25 November 2017.

Hal ini yang membuat satelit NASA bisa merekam kandungan tinggi SO2 dari Gunung Agung. Senada dengan Krippner, Devy mengatakan kandungan SO2 sudah berkurang menjadi 2.900 ton pada 29 November 2017. "Gas ini sangat berbahaya dan sementara hanya berada di dekat kawah saja," katanya.

Sulfur dioksida merupakan salah satu jenis gas yang dihasilkan dari aktivitas magmatik gunung berapi. Pengaruh utama gas beracun ini terhadap manusia adalah iritasi sistem pernafasan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi pada kadar SO2 sebesar lima bagian per sejuta (ppm) atau lebih.

Pada beberapa individu yang sensitif, SO2 bisa menyebabkan iritasi pada kadar satu hingga dua ppm. SO2 dianggap racun yang membahayakan kesehatan, terutama pada orang tua dan penderita yang mengalami penyakit kronis pada sistem pernafasan kadiovaskular.

Devy mengatakan satelit NASA juga mendeteksi anomali termal Gunung Agung pertama kalinya mencapai 70 megawatt vulkanik radiatif power (VRP) pada 27 November 2017. Data terbaru menunjukkan satelit NASA mencatat energi panas di Gunung Agung sudah mencapai 97 MW VRP. Ini berarti magma dalam volume tinggi sudah berada di permukaan. Pertambahan suhu panas ini berpotensi menghasilkan letusan besar. Magma di bawah semakin tertekan. Untuk melepaskan tekanan itu, material harus dilontarkan, dalam bentuk batu atau abu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement