Rabu 29 Nov 2017 01:27 WIB

MK Tolak Gugatan Perppu Larangan Pemakaian Tanah tanpa Izin

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Andri Saubani
[ilustrasi] Suasana sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi.
Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
[ilustrasi] Suasana sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi terhadap Perppu 51/1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya. Menurut MK, perppu itu sudah memberikan kepastian hukum bagi warga negara.

"Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," ujar Wakil Ketua MK Anwar Usman selaku Ketua Sidang saat membacakan putusan di gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (28/11).

Dengan begitu, pemerintah daerah tetap diperkenankan melakukan penggusuran terhadap pihak yang terbukti menempati tanah tanpa memiliki izin. Berdasarkan perppu tersebut, pemerintah atau negara melakukan hal itu sebagai tindak tidak melakukan pembiaran adanya penyerobotan hak atas tanah yang mengakibatkan ketidaktertiban dalam masyarakat.

"Penggusuran kawasan hunian yang menimpa kawasan pemukiman para Pemohon yang dilakukan berdasarkan pasal-pasal dalam UU 51/PrP/1960  yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon tidak serta-merta membuat pasal-pasal dalam UU 51/PrP/1960 tersebut menjadi bertentangan dengan UUD 1945," jelas dia.

Dengan demikian, Mahkamah menyebutkan, ketentuan mengenai penggusuran kawasan pemukiman oleh Pemerintah yang selama ini dilakukan berdasarkan kepada UU 51/PrP/1960 tidaklah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945.

Mahkamah menilai, perppu tersebut sudah memberikan kepastian hukum bagi warga negara. Dalam hal kepemilikan tanah, warga negara tetap harus memperhatikan instrumen hukum yang sudah ada, jangan sampai menyerobot tanah tanpa seizin yang berhak ataupun kuasanya.

"Apabila terdapat penyerobotan tanah, maka pengambilalihan tanah yang dilakukan oleh pemerintah tetap menempuh cara-cara yang memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan," kata Anwar.

Artinya, lanjut dia, pemerintah tidak secara langsung membongkar paksa rumah atau tanah yang dihuninya. Di samping memberikan kesempatan atau tenggang waktu kepada penghuni atau warga untuk mengosongkan tanah atau rumah yang dihuninya terlebih dahulu, pemerintah juga tidak serta-merta menutup kemungkinan memberikan kompensasi atau relokasi.

"Dengan memperhatikan situasi dan kondisi konkret di lapangan. Terutama mereka yang telah tinggal lama secara turun-temurun dan memperoleh hak tersebut dengan itikad baik, termasuk menjalankan kewajiban-kewajiban yang dibebankan negara seperti membayar PBB," jelas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement