Sabtu 25 Nov 2017 08:55 WIB

Siapa Sosok Ketua DPR dan Golkar yang Baru?

Partai Golkar (ilustrasi)
Foto: Republika
Partai Golkar (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy

Butuh pelaut tangguh di lautan bergelombang. Prinsip itu agaknya kini dibutuhkan oleh Partai Golkar saat ini. Bagaimana tidak? Saat ini partai terbesar kedua di parlemen itu ditinggal oleh sang ketua umum, Setya Novanto, yang kini berada dalam tahanan KPK.

Lebih jauh dari itu, menurut survei terakhir yang dirilis oleh LSI, angka elektabilitas Golkar kini mencapai kisaran 13-an persen. Survei tersebut dilakukan sebelum Setnov ditahan. Ini berarti efek dari tragedi tiang listrik dan drama penahanan Setnov oleh KPK belum masuk kalkulasi. Jadi bisa dibayangkan kini jikalau persoalan Setnov ini  bisa membuat elektabilitas Golkar semakin menukik.

Ini mirip dengan situasi Partai Demokrat yang elektabilitasnya langsung terjun bebas usai sang ketua umum Anas Urbaningrum ditahan KPK, Januari 2014. Dan hanya dalam tempo empat bulan, elektabilitas Demokrat pun terjun bebas.

Ya, suka tidak suka, rompi oranye KPK punya impak yang sangat besar. Karena itu, tak heran kini banyak sesepuh Golkar yang khawatir jikalau Beringin terancam tumbang di 2019.

Melihat situasi terkini, Golkar jelas mesti berbenah. Hitung-hitungan politik secara matang mesti dikalkulasi partai yang berjaya pada zaman Orde Baru itu.

Sejarah sudah mencatat bagaimana kekuatan terbesar di muka bumi saja bisa runtuh saat sang pemimpin baru bertakhta. Contoh saja Kaisar Diocletian yang membuat Romawi runtuh. Kebijakan Diocletian membagi dua wilayah kekaisaran, Roma dan Konstantinopel malah menjadi awal dari keruntuhan dari salah satu kerajaan  terbesar dalam catatan sejarah dunia itu.

Keruntuhan Romawi itu telah memberi pelajaran bahwa kapal sebesar apapun bisa karam saat dinahkodai dengan salah. Kisah serupa banyak terjadi di dunia yang mana banyak partai besar yang kemudian harus bubar ketika gagal memilih patron di saat genting. Sebagai contoh Partai Baath di Irak, Partai Pergerakan Demokratik Konstitusional di Tunisia, serta Partai Nasionalis Demokratik Mesir.

Deretan partai itu nyatanya adalah partai penguasa zaman yang harus tumbang karena memilih bertahan bersama sang patron. Kesalahan dalam mengambil langkah politik itu yang akhirnya mengakibatkan deretan partai penguasa itu ikut digilas perubahan.

Golkar pernah nyaris mengalami fase itu pada saat keruntuhan Orde Baru. Namun di tangan nahkoda yang tepat, yakni Akbar Tandjung, Golkar mampu bertahan dan adaptif pada perubahan zaman. Bahkan Golkar hanya butuh lima tahun dari reformasi untuk kembali merebut status sebagai partai pemenang pemilu.

Kini Golkar kembali diuji sejarah dengan peristiwa tumbangnya Setnov. Golkar pun di persimpangan sejarah, apakah akan bertahan atau menukik tajam? Semua tergantung pada si nahkoda Golkar kedepan.

Karena itu pemilihan figur pengganti Setnov, baik di kursi ketum Golkar dan ketua DPR, akan menentukan jatuh atau bangkitnya si Beringin pada 2019.

Jatuh-bangunnya sebuah partai politik mirip-mirip dengan kalkulasi bisnis. Meminjam teori 4P  dari E Jerome McCarty, ada empat elemen penting sebagai kunci krusial dari kesuksesan berbisnis. 4P di dunia bisnis ini juga bisa diadopsi di dunia politik. 4P itu adalah place (lokasi), promosi, produk, dan price (nilai).

4P inipun bisa dipakai partai manapun untuk bangkit di 2019, utamanya Golkar. Poin pertama yang penting di sini adalah lokasi (place). Dalam hal ini Golkar mesti cermat dalam memetakan lokasi lumbung suara.

Yang kedua adalah promosi. Dalam hal ini partai mesti jeli berpromosi dengan mengadaptasi kemajuan zaman. Dan di era 2019 nanti yang mana 30 persen pemilihnya adalah pemilih pemula, penggunaan sarana teknologi informasi (media sosial) sebagai media promosi politik adalah sebuah kewajiban. Dan kondisi Golkar di kalangan milenial yang aktif media sosial hari ini cukup memprihatinkan. Golkar malah jadi sasaran olok-olok akibat tragedi bakpao dan tiang listrik.

P ketiga adalah produk. Produk apa yang Golkar mesti jual pada 2019. Pada zaman awal reformasi, seorang Akbar Tandjung menjual produk berlabel 'Golkar Baru'. Strategi itu untuk melepaskan citra Golkar yang kala itu lekat dengan Orde Baru. Hasilnya cukup efektif. Produk 'Golkar Baru' nyatanya cukup laku di pemilih pada 2004.

Sedangkan pada 2014 lalu, produk yang ditawarkan Golkar justru kembali kepada rasa Orde Baru. Sebab survei LSI mencatat bahwa mayoritas pemilih sudah rindu pada kondisi pada rezim kesejahteraan ekonomi dan stabilitas di era Soeharto.

Dan memasuki 2019, tugas Golkar dalam meramu produk yang ingin dijual jadi lebih sulit. Sebab citra Golkar kini masih lekat dengan sosok Ketua Umumnya yang mesti menyandang rompi oranye. Kini jadi tugas Golkar untuk memisahkan citra kuning dari spektrum warna oranye.

Karenanya, ketua umum Golkar kelak mestilah sosok yang punya integritas untuk memulihkan citra produk Golkar sebagai partai yang jauh dari rompi oranye.

Dan yang terpenting adalah P keempat, yakni harga jual Partai alias (price). Berbeda dengan bisnis, dalam hal politik harga jual partai bukan nominal melainkan nilai dari partai itu di mata masyarakat. Kini nilai Golkar di tengah masyarakat sedang di posisi nadir terkait dengan polemik yang menyandung Setnov. Sebab dalam politik Indonesia saat ini, nilai jual ditentukan oleh tokoh. Walhasil, Golkar mesti mengkalkulasi siapa dari sosok kadernya yang punya nilai jual tinggi untuk menggantikan Setnov.

Terkait nilai jual ini, penentuan ketua umum dan ketua DPR pengganti Setnov jadi amat krusial. Ada beberapa nama yang mulai mengemuka. Ada loyalis Setnov macam Idurs Marham, Nurdin Halid, atau Azis Syamsuddin. Ada pula sosok Ade Komarudin yang juga sempat menjadi pemain pengganti Setnov saat diterpa kasus Papa Minta Saham.

Tapi di luar nama itu, Golkar masih punya sosok tokoh senior yang juga mengemuka yakni Luhut Binsar Panjaitan dan Jusuf Kalla. Atau dua orang teknokrat macam Airlangga Hartarto dan Fadel Muhammad.

Atau secara spekulasi Golkar bisa saja merekrut kader potensial baru yang punya sosok kuat, seperti Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Kebetulan sejarah mencatat sosok militer punya kedekatan historis dengan Golkar. Ini ditambah dengan kenyataan Gatot pernah menjadi tamu istimewa dan berpidato pada rapat kerja nasional Golkar.  

Lantas dari deretan nama itu, mana yang paling memungkinkan untuk mendongkrak Golkar saat ini?  Satu hal yang jelas Golkar saat ini butuh dua sosok sekaligus yang punya nilai jual yang kuat.

Mengapa dua sosok? Sebab sosok yang dibutuhkan tak hanya ketua umum melainkan juga ketua DPR. Dan Golkar mesti memilih dua sosok berbeda untuk dua posisi berbeda itu. Sebab memilih 'Setnov baru' yang menduduki dua posisi sekaligus malah akan mempersempit daya jual Golkar kepada publik.

Untuk posisi Ketua DPR, pilihan Golkar terbatas pada sosok yang masih aktif sebagai anggota dewan. Dari deretan anggota yang terpilih pada 2014 lalu mengerucut pada nama Fadel Muhammad, Azis Syamsuddin, dan  Airlangga Hartarto.

Dari deretan nama ini, Airlangga Hartarto agaknya justru kontraproduktif jika dipaksakan menjadi Ketua DPR. Sebab dia baru saja setahun meninggalkan DPR sebagai Menteri Perindustrian. Persepsi negatif akan menjumpai Golkar jika Airlangga yang sudah di-PAW malah dipaksakan kembali ke DPR.

Walhasil, tinggal sosok Fadel dan Azis yang berpeluang jadi ketua DPR. Dari kedua nama itu, sosok Fadel agaknya yang punya nilai jual untuk mendongkrak citra Golkar sebagai ketua DPR. Fadel terbukti punya nama yang baik ketika duduk sebagai Gubernur Gorontalo dan Menteri Kelautan dan Perikanan. Namanya mengemuka saat menolak keras impor garam.

Di sisi lain, sosok Fadel bisa menjembatani kalangan Islam dan nasionalis. Sehingga sentimen terhadap Golkar yang muncul usai Pilkada DKI bisa diminimalisir dengan sosok Fadel.

Lantas bagaimana untuk posisi Ketum? Ada sosok Airlangga Hartarto yang dijagokan menduduki Golkar satu. Posisinya di pemerintahan mendukung sosok Airlangga untuk mendapat restu politik dari Jokowi. Tapi jika Airlangga yang ditunjuk, maka akan minus kejut untuk mendongkrak elektabilitas Golkar.

Melihat dari deretan nama yang ada, tinggal tiga nama yang punya daya kejut bagi publik jika ditempatkan sebagai ketum baru Golkar. Ketiga nama itu tak lain adalah JK, Luhut, dan Gatot.

Jika menunjuk Luhut, Golkar akan semakin melekatkan citranya sebagai pendukung pemerintah. Ini terkait sosok Luhut yang begitu lekat sebagai orang kepercayaan Jokowi.

Namun jika JK yang pegang kendali, maka Golkar bisa lebih dinamis. Golkar bisa lebih fleksibel dalam menempatkan dirinya. Sebab JK juga diterima oleh kalangan di luar pemerintah. Namun di sisi lain, penunjukan JK akan membuat sang Wapres punya daya tawar lebih kepada Jokowi.

Di sisi lain, JK bisa memberi jaminan support politik pada Jokowi. Tapi saat yang bersamaan pula JK punya posisi tawar yang besar kepada sang atasan. Kondisi ini bisa menjadi de Javu atas relasi SBY dan JK kondisi menjelang akhir 2009.

Tapi jika Golkar benar-benar mau membuat gebrakan, sosok Gatot bisa dikedepankan. Gatot yang memiliki potensi elektabilitas, punya daya untuk menggerek dan memulihkan citra Golkar yang krisis figur. Sosok Gatot juga cukup laku untuk dijual sebagai Capres dan Cawapres untuk 2019.

Namun di sisi lain Gatot bukan kader Golkar. Penunjukan sosok di luar kader untuk langsung duduk sebagai ketum memang berpotensi menimbulkan dinamika internal.

Namun dinamika internal jadi tak ada artinya jika melihat gelombang besar yang menghantam Golkar. Gelombang besar yang tengah membuat kapal Golkar terombang ambing minus nahkoda yang ditahan KPK. Karenanya yang terpenting bagi Beringin adalah segera menyerahkan kemudi kepada nahkoda tangguh. Dan memang, nahkoda tangguh hanya akan lahir di lautan bergelombang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement