Kamis 23 Nov 2017 09:01 WIB

'Kids Zaman Now' dan Redupnya Cahaya Altruisme

Semangat motivasi dan inspirasi anak muda (ilustrasi).
Foto:

Waktu lebih banyak dicurahkan pada dunia virtual. Sedangkan kehidupan sosial yang dilakukan secara offline sungguh sangat minim. Sehingga minim akan respons dan pengorbanan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hidup orang banyak.

Rasa empati dibutuhkan agar orang bisa memahami yang sesungguhnya terjadi. Rasa empati adalah cara seseorang bisa melatih kepekaan diri terhadap kehidupan sosial di sekitarnya.

Apa pun generasinya, seperti X, Y, Z, ataupun millennial, mereka tetap manusia yang membutuhkan hubungan sosial. Ketidakmampuan membawa diri dan menjaga hubungan sosial hanya akan mengancam pemenuhan kebutuhan sosial pada diri seseorang, termasuk anak kecil.

PFC merupakan bagian otak yang berada tepat di belakang dahi- atau kita sebut sebagai “tombol” altruisme. Keputusan yang diambil tombol altruisme inilah yang bisa membuat siapa pun berkorban untuk orang lain, keluarga, masyarakat, dan negara.

Altruisme terjadi karena adanya interaksi sempurna antara emosi dan proses pengambilan keputusan (PFC). Harmonisasi ini menghasilkan kemerdekaan yang kita nikmati hari ini. Lihat saja bagaimana pahlawan zaman dulu mengorbankan jiwa dan raganya untuk satu kata “merdeka”.

Tantanganya, mampukah anak-anak hari ini menjaga interaksi harmoni antara emosi dan proses pengambilan keputusan? Ketidakmampuan mengolah keseimbangan itu berdampak pada perkembangan anak yang tidak mampu berkorban untuk orang lain.

Alhasil, akan tercipta generasi yang sangat egois dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Semua warga Indonesia yang sehat pasti punya otak. Sang Pencipta pada dasarnya menyediakan potensi di dalam otak untuk menjadi manusia yang bersifat altruisme.

Namun, seiring dengan pergaulan, banyak manusia mematikan tombol altruisme ini, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Sungguh miris! Keserakahan dan ketamakan adalah hal yang bisa mematikan tombol altruisme.

Jika masyarakat di negara ini tidak lagi menggunakan tombol tersebut di dalam otaknya, mereka akan berubah menjadi masyarakat yang super tidak peduli dengan nasib dan nyawa manusia di sekelilingnya. Kesulitan orang lain di depan mata tak lagi menggetarkan jiwa.

Berkelakar dan tertawa di atas luka orang lain merupakan indikasi disfungsi jiwa altruisme di dalam diri seorang insan. Saat ini warga Indonesia sedang menonton sebuah drama dan rally-rally panjang seorang Setya Novanto.

Ini model kurang baik pada pembentukan anak hari ini sebagai orang yang akan menggantikan para pejabat detik ini. Seorang ketua lembaga yang memproduksi legislasi dan undang-undang harus lari ke sana-ke mari agar tidak terjerat hukum.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement