REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah menyatakan, sebuah kesaksian tidak dapat berdiri sendiri terkait keterangan dari mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin saat persidangan kasus KTP elektronik (KTP-e).
"Dalam proses pembuktian tentu hakim akan melihat kesesuaian keterangan satu saksi (Nazaruddin) dengan saksi lainnya. Dan juga dengan bukti lainnya. Karena memang keterangan satu saksi tidak dapat berdiri sendiri," katanya di Jakarta, Rabu (22/11).
Saat ini, lanjut Febri, KPK akan terus memantau proses persidangan korupsi KTP-e. Apa saja fakta-fakta yang muncul dan keterangan para saksi yang dihadirkan. "Nanti dalam proses ini tentu akan diuji hingga selesai dan dipertimbangkan oleh hakim," ujarnya.
Sebelumnya, saat bersaksi untuk terdakwa Andi Narogong di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin (20/11), Nazaruddin menyampaikan keterangan yang dinilai janggal. Misalnya, penyebutan nama Ganjar Pranowo.
Sebagaimana BAP-nya, Nazaruddin mengaku melihat langsung Ganjar, yang kini menjabat Gubernur Jawa Tengah, menerima langsung uang 500 ribu dolar AS dari Mustokoweni di ruangan kerja politikus Golkar tersebut.
Soal pemberian uang dari Mustokoweni ini, Nazaruddin mengklaim peristiwa itu terjadi pada September-Oktober 2010. Padahal, Mostokoweni meninggal dunia pada 18 Juni 2010 atau tiga bulan sebelum klaim Nazaruddin tersebut muncul.
Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakir mengatakan keterangan Nazaruddin terkait Mustokoweni itu harus dicek kembali soal waktu dan tempatnya.
"Kalau dia (Nazaruddin) ternyata keterangannya tidak konsisten dan 'orang mati' (Moestokoweni) pun masih dianggapnya hidup, dia bisa dijerat kesaksian palsu," ujarnya.
Menurut Mudzakir, kesaksian tidak jelas yang digunakan sebagai alat bukti untuk memidanakan orang lain sangatlah berbahaya. "Berbahaya itu memberikan keterangan palsu dan membuat orang masuk penjara dan tersangka," katanya.