Kamis 23 Nov 2017 05:41 WIB

UU Pemerintahan Daerah Perlu Segera Direvisi

Arif Supriyono, wartawan Republika
Foto: Dokumen pribadi
Arif Supriyono, wartawan Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono, wartawan Republika

Tiga tahun lalu saya pernah membuat tulisan yang isinya berupa usulan agar pemerintah segera merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perlunya revisi itu terkait dengan pasal 110 tentang masa jabatan kepala derah dan wakil kepala daerah.

Waktu tulisan itu saya buat, Joko Widodo sedang memangku jabatan sebagai gubernur Jakarta. Ia hendak maju sebagai calon presiden, padahal belum genap dua tahun menjabat sebagai gubernur Jakarta.

Saya pun mengusulkan agar kasus Jokowi yang menjabat tengah gubernur dan maju sebagai calon untuk menduduki posisi yang lebih tinggi merupakan peristiwa terakhir. Harapan saya saat itu, pemerintah segera melakukan revisi UU tersebut sehingga tidak ada lagi kepala daearah yang baru beberapa saat menjabat lalu meninggalkaan kedudukannya untuk menngejar posisi lain yang lebih tinggi.

Ketika itu, nyaris tak ada yang mengajukan protes atas tindakan Jokowi tersebut. Kalaupun ada, suara itu tertelan oleh gegap gempita rakyat yang mendukung pencalonannya.

Jika ditelaah, rambu yang membatasi agar seorang kepala daerah tidak seenaknya meninggalkan jabatannya di tengah jalan sebenarnya sudah tertera di UU Pemerintahan Daerah. Ayat 1 dalam pasal 110 UU tersebut menyatakan, kepala daerah dan wakil kepala daerah sebelum memangku jabatannya dilantik dengan mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pejabat yang melantik. Kemudian ayat 3 pada pasal 110 itu menyatakan, kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.

Dalam UU itu ada tiga hal yang membuat kepala daerah/wakil kepala daerah berhenti dari jabatannya, yakni karena meninggal, atas permintaan sendiri, dan diberhentikan (pasal 29 ayat1). Pada poin f pasal 28 justru ditegaskan, bahwa kepala daerah/wakil kepala daerah dilarang menyalahi wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya.

Karena masa jabatan 5 (lima) itu ada di pasal 110, maka hal itu sesungguhnya terkait dengan sumpah jabatan. Meski masa jabatan itu tak diucapkan dalam sumpah, namun kepala daerah/wakil kepala daerah wajib memahami, bahwa masa jabatannya adalah lima tahun, sebagaimana tercantum di ayat 3 pasal 110. Ini artinya, masa jabatan lima tahun itu terikat menjadi satu dengan sumpah jabatan.

Kemudian ada lagi penegasan, bahwa kepala daerah/wakil kepala daerah tak boleh melanggar sumpah/janji jabatan. Ini juga bermakna, bahwa sumpahnya untuk memangku jabatan selama lima tahun tidak boleh juga dilanggar. Acuan ini sebenarnya sudah cukup jelas, namun selama ini tak menjadi perhatian oleh para pemangku kepentingan, termasuk di dalamnya masyarakat luas.

Bisa jadi, pasal-pasal tersebut di atas memang kurang tegas dalam memberi larangan pada para pejabat untuk meninggalkan posisinya di tengah jalan. Dalam penjelasan UU itu pun tak dibahas soal pasal dan ayat tentang masa jabatan.

Titik poin yang bisa dijadikan alasan bagi seorang pejabat untuk meninggalkan posisinya dan berpacu dalam pilkada atau pilpres adalah pasal 29 poin b, yaitu berhenti karena permintaan sendiri. Namun, seyogianya poin b pasal 29 ini harus dihubungkan dengan sumpah jabatan tadi.

Dengan demikian, tidak bisa seoranng pejabat seenaknya memaknai istilah mundur karena atas permintaan sendiri. Pengertian mundur karena permintaan sendiri baru bisa bermakna bila memang pejabat itu tak lagi punya niat atau hasrat untuk mengejar posisi yang lebih tinggi.

Ia benar-benar mundur dari jabatan di pemerintahan dan tidak mengincar jabatan lain. Klausul mundur atas permintaan sendiri perlu dipertegas, apakah itu termasuk kategori tak mampu melaksanakan tugas dengan baik atau meninggalkan tugas karena ingin maju sebagai calon dalam posisi lain atau kedudukan yang lebih tinggi. Hal ini penting karena ‘kontrak’ antara kepala daerah dengan negara dan kepala daerah dengan masyarakat pemilihnya adalah lima tahun.

Jika dalih yang dipakai pejabat tersebut adalah diberhentikan dari jabatannya, itu juga tidak tepat. Diberhentikan itu bisa berupa berakhir masa jabatannya, tak melaksanaan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap selama enam bulan bertutur-turut, tak lagi memenuhi syarat sebagai kepala daerah, dinyatakan melanggar sumpah/janji, tak melaksanakan kewajiban sebagai kepala daerah, dan melanggar larangan sebagai kepala daerah. Lantaran kriteria diberhentikan ini membawa konotasi negatif, tentu pejabat tersebut sangat tidak pantas untuk maju sebagai calon --dengan jabatan lebih tinggi-- kepala daerah atau presiden/wapres.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement