Selasa 21 Nov 2017 06:06 WIB

Pakar: Hakim Tangani Praperadilan Setnov Lampaui Kewenangan

Tersangka kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto tiba di gedung KPK, Jakarta, Minggu (19/11). Ketua DPR tersebut dipindahkan dari RSCM Kencana ke rutan KPK.
Foto: Rosa Pangabean/Antara
Tersangka kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto tiba di gedung KPK, Jakarta, Minggu (19/11). Ketua DPR tersebut dipindahkan dari RSCM Kencana ke rutan KPK.

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI), Gandjar Laksmana Bonaprata, MH menilai hakim yang menangani gugatan praperadilan tersangka korupsi KTP-el Setya Novanto telah melampaui kewenangan dengan mengabulkan sebagian gugatan praperadilan yang diajukan Ketua Umum Partai Golkar tersebut.

"Dalam putusannya hakim yang menangani gugatan praperadilan Novanto minta penyidikan dihentikan, ini merupakan perbuatan melawan hukum karena konteksnya telah melampaui kewenangannya," kata dia di Padang, Senin (20/11).

Ia menyampaikan hal itu pada diskusi publik eksaminasi putusan praperadilan status tersangka Setya Novanto yang digelar oleh Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand) Padang. Menurut Gandjar, dalam gugatan praperadilan tersebut hakim juga tidak berwenang menguji validitas alat bukti penetapan Novanto sebagai tersangka.

"Bahwa alat bukti itu bisa menunjukan seseorang melakukan suatu tindakan pidana atau tidak, itu merupakan materi pokok perkara," katanya.

Ia mengatakan yang penting dilakukan adalah ketika penyidik menyampaikan punya alat bukti keterangan saksi maka penyidik punya bukti meminta keterangan seseorang sebagai saksi. "Seandainya penyidik punya alat bukti berupa surat maka cukup dibuktikan dengan pernah melakukan pemeriksaan atau penggeledahan dan menyita," ujarnya.

Kemudian dia juga mengkritik pandangan hakim yang menyatakan alat bukti untuk suatu perkara tidak boleh digunakan untuk membuktikan perkara lain lagi. "Sikap hakim yang menyatakan alat bukti tidak boleh digunakan untuk perkara lain merupakan kesesatan berpikir karena hukum acara bersifat logis sistematis," ujarnya.

Ia menyatakan, suatu alat bukti dapat digunakan untuk kasus yang lain sepanjang berasal dari Sprindik yang sama. Pada sisi lain, dia juga mengkritik pendapat hakim yang menyatakan penetapan tersangka harus dilakukan pada akhir penyidikan karena tidak satu pun manusia yang tahu kapan penyidikan akan berakhir.

"Kalau tersangka telah ditemukan dan ditetapkan pada umumnya penyidikan akan berakhir karena tujuan penyidikan adalah menemukan tersangka, oleh sebab itu penetapan tersangka tidak mesti diakhir karena tidak ada periodesasi penyidikan mana yang awal, tengah dan akhir," kata dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement