Ahad 19 Nov 2017 09:17 WIB

In Memoriam Djohan Effendi: Sederhana, Rendah Hati, dan Berjiwa Besar

Djohan Effendi
Foto: lukman hakiem
Djohan Effendi

Oleh Lukman Hakiem*

SETIAP hari Senin dan Selasa,  bus angkutan umum dari Sukabumi menuju Jakarta,  pasti penuh sesak oleh penumpang, baik penumpang yang hendak kembali sesudah berlibur di Sukabumi,  maupun oleh para pekerja yang tinggal di kawasan antara Ciawi-Sukabumi.

Hari itu,  saya yang menyetop mobil di kawasan Cicurug,  sudah bersiap untuk berdiri berdesak-desakan sampai Jakarta. Di luar dugaan, ternyata saya masih kebagian duduk. Alhamdulillah.

Sepanjang jalan,  bus terus menambah penumpang, sehingga makin banyak mereka yang berdiri. Di pertigaan Cinagara,  selepas Lido,  bus kembali berhenti untuk menaikkan penumpang. Di antara sejumlah penumpang yang naik,  ada seorang yang sangat saya kenal: Djohan Effendi!

Betapapun sudah mengenal Mas Djohan --demikian saya menyapanya--saya tetap terkejut dan hampir tidak percaya melihat seorang pejabat eselon I di Kementerian Agama  mau berdiri berdesak-desakan di bus.

Alumni HMI Cabang Yogyakarta itu terus berjalan ke dalam bus dan berdiri tidak jauh dari tempat saya duduk.

Saya berdiri, menyapa,  dan mempersilahkan senior yang saya hormati itu untuk duduk di kursi yang akan saya tinggalkan. Betapapun saya mendesaknya untuk duduk,  Mas Djohan tetap menolak. Akhirnya kursi saya serahkan kepada orang lain. Saya memilih menemani Mas Djohan berdiri sampai Jakarta.

Sambil berdiri kami mengobrol berbagai hal.  terutama rencana Mas Djohan mendirikan perpustakaan di Desa Tangkil,  daerah Cinagara,  Bogor.

Saya bertanya tentang Yayasan Wakaf Paramadina yang belum lama didirikan oleh Dr. Nurcholish Madjid dan kawan-kawan, tetapi Mas Djohan lebih antusias menjelaskan rencana pembangunan perpustakaannya.

Di daerah pegunungan yang sejuk,  Mas Djohan membayangkan alangkah nyamannya membaca buku di perpustakaan yang dikelilingi kolam ikan.

Pergolakan Pemikiran Islam

Pada 1981, terbit buku Ahmad Wahib yang disunting oleh Mas Djohan dan Ismet Natsir,  "Pergolakan Pemikiran Islam". Buku ini langsung menyita perhatian publik. Pendapat pro dan kontra bermunculan.

Pengurus HMI Cabang Yogyakarta yang saat itu dipimpin oleh Zulkifli Halim melakukan dua kali diskusi buku Wahib itu.  Pertama dilaksanakan di Sekretariat HMI Cabang Yogya, Jalan Dagen 16, dihadiri oleh para aktivis HMI, Djohan Effendi selaku editor buku, A. R. Baswedan yang disebut-sebut sebagai sahabat Ahmad Wahib, dan Samhudi --seorang tokoh yang dalam pengantar editor disebut sebagai tokoh Ahmadiyah Lahore yang menyebal.

Diskusi kedua diselenggarakan di rumah bekas Ketua Umum HMI Cabang Yogya, Djoko Prabowo Saebani, di Jalan Sultan Agung, Yogyakarta.

Karena aktivitas itulah,  saya yang saat itu menjadi pengurus HMI Cabang Yogya, mengenal Djohan Effendi. Resensi saya atas "Pergolakan Pemikiran Islam" di salah satu majalah ibukota rupanya dibaca oleh Mas Djohan. Dia memberi apresiasi terhadap resensi saya.

Di masa itu pula,  Mas Djohan mengenalkan saya kepada KH Abdurrahman Wahid, dan menyarankan agar Katib Syuriah PBNU itu diundang diskusi di Dagen. Saran itu langsung kami eksekusi,  dan Gus Dur --tokoh yang kelak menjadi Presiden RI-- dengan murah hati memenuhi undangan HMI.

Sejak itu,  hampir setiap ada acara di Yogya, Mas Djohan menghubungi saya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement