REPUBLIKA.CO.ID, Asap knalpot dari bus-bus 50 penumpang di Terminal Bekasi mengepul berwarna abu-abu kusam. Bus-bus itu tampak mengantre di lapangan terminal untuk keluar setelah penumpang memenuhi kursi-kursi pada bus.
Bus besar itu berwarna biru, dari luar nampak kosong melompong tanpa penumpang. Kursinya yang juga berwarna biru itu juga masih segar dan tak lapuk. Angin dingin pendingin udaranya juga terasa sampai ke halte di sebelahnya.
"Gila, dari jam tujuh sampai sini jam 10, masih macet!" kata Purwoko (38 tahun), keluar dari bangku supir bus biru itu lalu menuju ke shelter khusus Transjakarta. Sambil mengibaskan kemeja biru mudanya, ia mengelap keringat yang bercucuran.
Purwoko yang asal Solo itu menjelaskan kepada teman-temannya di shelter bahwa ia sempat terjebak macet di Tol Jakarta-Cikampek, menuju Kota Bekasi. Perjalanan yang biasanya bisa ia tempuh selama satu setengah jam, molor hingga tiga jam.
Namun bila dibandingkan dengan Kamis (16/11) kemarin, perjalanannya pagi tadi masih tak seberapa. Purwoko menerangkan saat itu ia kebagian tugas untuk membawakan bus dari pool Transjakarta di Cililitan, Jakarta Timur.
Ia memulai perjalanannya pada pukul setengah empat pagi. Nasib berkata lain, ia harus menempuh kemacetan luar biasa di hadapannya, karena insiden crane jatuh di KM 15 Tol Jakarta-Bekasi. Perjalanan sampai pukul 11 siang, saat itu.
Tujuh jam ia tempuh di perjalanan, bersama seorang rekannya. Ia pun tak menyangka, kemacetan bisa sampai separah itu. "Saya sampai bosan, ketemunya dia lagi, dia lagi," katanya menunjuk seorang rekannya yang enggan disebut namanya itu.
Katanya, perjalanan itu cukup membuatnya frustrasi. Beruntung saat itu ia hanya bertugas mengantarkan bus dari pool ke shelter di Terminal Bekasi. "Coba bawa penumpang, udah pasti diprotes saya," ujar dia.
Pria yang memiliki dua anak itu mengatakan setelah sampai di shelter di Terminal Bekasi, ia langsung pulang ke rumahnya di kawasan Dewi Sartika Kota Bekasi. Katanya ia sangat lelah setelah mengalami kemacetan hingga tujuh jam.
Di kehidupan sehari-hari, ia mengendarai bus bolak-balik dari Jakarta ke Bekasi, dan sebaliknya. Kendala demi kendala ia temui saat mengendarai akhir-akhir ini.
Salah satunya, penumpang yang menaiki bus biru itu pada realitasnya makin sepi. Terlebih setelah adanya kereta listrik menuju ke Cikarang, Kabupaten Bekasi. Dulu penumpang tiap hari bisa mencapai 4.000 orang. "Sekarang makin turun," katanya.
Selain itu, ia juga mengeluhkan upahnya yang kecil. Ia pun enggan menyebut nominalnya. "Pokoknya kecil, deh. Tapi tetap bersyukur saja," ujarnya pada Republika.
Hal itu dibenarkan seorang temannya di shelter bus di Terminal Bekasi. Setiyoko (39), seorang pengendali jalur Transjakarta mengatakan saat ini jumlah penumpang terus menurun. "Saat ini penumpang tiap hari mencapai 3.700 hingga 3.800-an penumpang saja," ungkapnya.
Hal itu terjadi karena beberapa penyebab, yang pertama adalah kemacetan di Tol Jakarta-Cikampek menuju Kota Bekasi. Menurutnya, masyarakat bosan dan lelah bila harus bertemu dengan kemacetan.
Di samping itu, masyarakat membutuhkan transportasi yang lebih cepat. Maka dari itu, kata dia, saat ini masyarakat lebih memilih menggunakan kereta listrik dari pada bus.
Setiyoko mengatakan, dulu saat awal adanya bus Transjakarta ke Bekasi, penumpang bisa mencapai 6.000 per hari. "Setelah ada kereta listrik ke Cikarang, masyarakat mulai meninggalkan bus," ujarnya.
Kalau soal tarif, kata dia, bisa bersaing dengan kereta listrik. Tarif bus sampai saat ini mencapai Rp 3.500. Sementara tarif kereta listrik juga tak jauh berbeda, yakni Rp 3.000.
Hal itu bisa disimpulkan, katanya, saat ini yang menjadi penyebab utama menurunnya jumlah penumpang, adalah kemacetan dan persaingan dengan kereta listrik. "Semoga tak turun lagi, karena operasional juga jadi ikutan turun," ungkapnya.