REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Gubernur Jawa Timur Soekarwo memaparkan pentingnya pembangunan yang berkeadilan dan berdaya saing. Menurutnya, keadilan merupakan amanat konstitusi. Maka, jika keadilan tidak diwujudkan, akan menghasilkan disparitas atau kesenjangan antar daerah menjadi tinggi.
"Pemerataan keadilan bisa dilakukan jika pemerintah bisa mengintervensi (membela) masyarakat kecil. Di Jatim kami namakan ekonomi kerakyatan," kata pria yang akrab disapa Pakde Karwo dalam siaran persnya, Jumat (17/11).
Guna mewujudkan konsep tersebut, lanjut Soekarwo, Pemprov Jatim menggunakan berbagai strategi. Di antaranya di bidang pembiayaan, produksi dan pemasaran. Misalnya, untuk UMKM diberikan suku bunga murah enam hingga sembilan persen, produk diberikan nilai tambah, dan sekaligus pemasaran melalui kerja sama dalam dan luar negeri.
"Dengan demikian, daya saing meningkat. Kesemuanya, untuk memberi kemudahan pada industri kerakyatan seperti UMKM," ujar Pakde Karwo.
Pakde Karwo melanjutkan, hasil pelaksanaan strategi tersebut antara lain bisa dilihat dari kinerja sektor pertanian yang terus tumbuh secara positif. Pada sektor ini, Jatim surplus beras sebesar 5.135.177 ton atau setara dengan kebutuhan 45.04 juta jiwa. Jatim juga menurutnya surplus Jagung sebanyak 5.717.790 ton.
Selain itu, di Jatim, sebanyak 6,8 juta industri berasal dari sektor UMKM dan menyumbang 54,98 persen terhadap PDRB Jatim. Salah satu kegagalan liberalisasi adalah UMKM tidak diberi kemudahan. "Kalau tidak diberi kemudahan, mereka akan bangkrut, pasar tidak terbentuk, dan tidak ada barang yang dibeli oleh rakyat," katanya.
Pakde Karwo menambahkan, strategi lain yang dijalankannya adalah membuka ruang publik untuk melakukan dialog dengan rakyat. Sebab, nilai budaya musyawarah mufakat merupakan bagian penting dalam pengambilan keputusan. "Jangan mengambil keputusan berdasarkan suara terbanyak melainkan melalui proses musyawarah untuk mufakat," kata Soekarwo lagi.
Pakde Karwo menambahkan dalam proses pengambilan keputusan, diharapkan selalu melibatkan rakyat. Tujuannya untuk mengetahui apa yang sebenarnya diinginkan oleh mereka. Selain itu, kebijakan yang dijalankan juga harus dilakukan dengan cara partisipatoris. "Artinya, setiap masyarakat diajak merumuskan kebijakan dengan cara musyawarah mufakat. Harus dibuat sebuah perjanjian dengan rakyat," ujarnya.