Jumat 17 Nov 2017 16:41 WIB

KPK Diminta Usut Upaya Penghalangan Penyidikan Kasus Setnov

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Andri Saubani
Narasumber menujukan poster DPO untuk Setya Novanto usai memberikan keterangan terkait hilangnya Ketua DPR Setya Novanto di Jakarta, Kamis (16/11).
Foto: Republika/Prayogi
Narasumber menujukan poster DPO untuk Setya Novanto usai memberikan keterangan terkait hilangnya Ketua DPR Setya Novanto di Jakarta, Kamis (16/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi meminta KPK untuk menyelidiki dugaan menghalang-halangi proses hukum yang dilakukan oleh tim kuasa hukum Ketua DPR RI Setya Novanto dalam perkara kasus proyek KTP Elektronik (KTP-el). Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, yang tergabung dalam koalisi tersebut, mengatakan, ada dua dugaan pelanggaran obstruction of justice tersebut.

Pertama, tim kuasa hukum Novanto menyarankan supaya kliennya itu tidak menghadiri agenda pemanggilan KPK karena harus menunggu izin tertulis dari Presiden. "Padahal sudah jelas tertera pada pasal 245 ayat (1) UU MD3 bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD)," kata dia, Jumat (17/11).

Lalu, pasal tersebut dianggap inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK), melalui putusan nomor 76/PUU XII/2014 MK yang berpandangan bahwa frasa MKD itu harus diganti menjadi Presiden. Namun, dalam pasal 245 ayat (3) menyebutkan bahwa ketentuan pada ayat (1) tidak berlaku jika anggota DPR disangka melakukan tindak pidana khusus.

Upaya menghalang-halangi kedua, lanjut Kurnia, yaitu pascapenetapan tersangka Novanto oleh KPK, tim kuasa hukum Novanto melaporkan dua orang pimpinan KPK yakni Agus Rahardjo dan Saut Situmorang. Juga, dua penyidik KPK Aris Budiman dan Ambarita Damanik sebab diduga tidak pada perintah pengadilan.

Padahal dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 tahun 2016 tentang larangan peninjauan kembali putusan praperadilan bahwa pemeriksaan praperadilan hanya menilai aspek formil. Yaitu, apakah ada sedikit dua alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara.

"Pada ayat (3) Perma tersebut, bahwa putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka, tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi," ungkapnya.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement