REPUBLIKA.CO.ID, TIMIKA -- Kepolisian Daerah (Polda) Papua kembali mengingatkan kelompok kriminal bersenjata (KKB) Papua agar segera melepaskan warga sipil yang kini terisolasi dalam penguasaan kelompok itu. Polda Papua memperkirakan ada sebanyak 1.300 warga yang tersandera di Kampung Banti dan Kimbeli, Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika.
Kapolda Papua Irjen Boy Rafli Amar mengatakan,hingga lebih dari dua pekan sejak aksi teror penembakan secara masif oleh KKB di wilayah Tembagapura, kelompok bersenjata itu belum menunjukkan tanda-tanda mau menyelesaikan persoalan yang ada dengan cara damai. Polda Papua telah menitipkan pesan melalui tokoh adat, agama dan pemerintahan yang melakukan negosiasi dengan KKB, agar masyarakat diberi kesempatan untuk keluar dari Banti dan Kimbeli karena keinginan mereka sendiri, karena kebutuhannya, dan karena kondisi yang mereka hadapi tanpa gangguan apa pun.
"Kami hanya minta itu, dan sampai sekarang belum ada kabar apa pun," kata Kapolda saat menggelar konferensi pers di Hotel Rimba Papua Timika, Kamis (16/11).
Meski berbagai upaya melibatkan para tokoh sudah dilakukan, kata Boy, kelompok bersenjata terkesan enggan melepas begitu saja sekitar 1.300 warga sipil untuk pergi meninggalkan Kampung Banti, Kimbeli, Opitawak, padahal ribuan masyarakat sipil itu kini sangat membutuhkan bantuan pangan, pelayanan kesehatan, dan berbagai kebutuhan mendasar lainnya.
"Masyarakat di sana kini semakin tertekan dan terintimidasi karena adanya pelarangan-pelarangan oleh KKB untuk meninggalkan desa mereka. Masyarakat dipaksa tidak boleh pergi ke mana-mana. Memang mereka tidak dikurung dalam satu ruangan, tapi kehidupan mereka sangat tertekan. Berbicara pun dibatasi," jelas Kapolda.
Menurut informasi yang diterima pihak kepolisian, saat ini terdapat 150-an balita dan bayi di beberapa kampung itu mengalami kekurangan bahan makanan lantaran ibu mereka sudah tidak sanggup lagi memberikan air susu ibu (ASI). Sebagian warga juga mulai sakit-sakitan lantaran persediaan bahan makanan yang semakin menipis.
"Kondisi seperti ini seharusnya tidak boleh terjadi. Kami tentu tidak bisa membiarkan kondisi seperti itu terus berlarut-larut," ujar mantan Kadiv Humas Polri itu.
Sejak akhir Oktober lalu, Rumah Sakit Waa-Banti milik Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK) sudah menutup operasionalnya.
Para dokter, perawat, bidan, dan tenaga medis lainnya sudah dievakuasi seluruhnya dari rumah sakit itu karena merasa tidak aman dengan keselamatan mereka pascatertembaknya kendaraan ambulans milik RS Waa-Banti.
Menurut Kapolda, sekiranya KKB memiliki keprihatinan terhadap masalah kemanusiaan maka seharusnya mereka mengizinkan masyarakat Banti dan Kimbeli untuk pergi meninggalkan lokasi itu dengan berjalan kaki menuju Tembagapura tanpa gangguan apa pun, terutama gangguan menggunakan senjata api.
"Kalau memang mereka mengizinkan, kami menyiapkan kendaraan untuk menjemput masyarakat. Ini suatu kondisi yang harus kita pertimbangkan dalam rangka penyelamatan atas nama kemanusiaan," kata Kapolda.
Sejauh ini, baru dua orang yang diizinkan oleh KKB untuk pergi meninggalkan Kampung Kimbeli, yaitu seorang wanita hamil yang hendak melahirkan dan seorang pendulang emas tradisional asal Blitar, Jawa Timur, bernama Sugiyono.
Aparat kepolisian bersama Pemerintah Distrik Tembagapura menyediakan bantuan bahan pangan di Polsek Tembagapura untuk masyarakat sekitar itu.
Meski begitu, warga takut mendatangi Polsek Tembagapura untuk mengambil bahan pangan karena terintimidasi oleh KKB. Adapun sebagian warga yang lolos ke Tembagapura untuk mengambil bahan pangan setelah kembali ke kampung dengan berjalan kaki, bahan pangan yang mereka bawa dijarah habis oleh KKB.