Selasa 14 Nov 2017 07:09 WIB

Penulisan Penghayat Kepercayaan di KTP tak Mendetail

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Elba Damhuri
Dewi Kanti Setianingsih menunjukkan KTP-nya yang kolom agamanya dikosongkan karena dia seorang penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan
Foto: Kaskus
Dewi Kanti Setianingsih menunjukkan KTP-nya yang kolom agamanya dikosongkan karena dia seorang penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Zudan Arif Fakhrullah, mengatakan, penulisan status aliran kepercayaan dalam kolom agama KTP-el bagi para penghayat kepercayaan kemungkinan tidak ditulis secara mendetail. Hal itu bertujuan menghindari potensi sering bergantinya data pada KTP-el tersebut.

Menurut Zudan, pemerintah telah mempertimbangkan beberapa opsi terkait teknis penulisan status aliran kepercayaan di KTP-el para penghayat kepercayaan. Jika dimasukkan nama alirannya, tidak ada yang menjamin apakah kelompok aliran kepercayaan tersebut bubar atau berubah namanya.

"Jika demikian (berubah atau bubar), harus berganti juga data di KTP elektroniknya. Hal ini yang menjadi pertimbangan pemerintah bila ingin memasukkan nama kelompok penghayat ini," ungkap Zudan, Senin (13/11).

Zudan mencontohkan keberadaan organisasi seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai ormas Islam. "Kan tidak bisa dimasukkan nama organisasinya. Sifat organisasi ini dinamis sehingga kami (pemerintah) lebih memilih opsi mencantumkan secara umum penghayat kepercayaan ini," ujar Zudan.

Oleh karena itu, opsi penulisan identitas aliran kepercayaan di kolom agama bagi para penghayat kepercayaan sudah mulai mengerucut kepada dua bentuk. Teknis tersebut yakni ditulis “kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa” atau “penghayat kepercayaan”.

Usulan itu berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyarankan teknis penulisan aliran kepercayaan yang dianut oleh warga di kolom agama KTP-el tidak harus ditulis secara spesifik. Meski demikian, kata Zudan, dua opsi penulisan di atas masih belum merupakan keputusan final dari pemerintah.

"Masih kami diskusikan terus dengan sejumlah pihak terkait. Opsi penulisannya memang mengerucut kepada dua hal itu," tutur dia.

Pada kesempatan itu, Zudan mengatakan, jumlah warga negara Indonesia yang mencatatkan diri sebagai penghayat kepercayaan sebanyak 138.791 orang. "Dalam database, (warga) yang menuliskan jenis kepercayaannya itu ada 138.791, terhitung data per 30 Juni 2017. Jumlah ini nanti pasti akan cepat melonjak karena selama ini penghayat kepercayaan itu ada yang menuliskan Buddha, Kristen, dan Islam dalam data kependudukannya," kata Zudan.

Jumlah tersebut terhitung sedikit, sekitar 3,14 persen, dibandingkan dengan data penduduk yang mencatatkan diri sebagai penganut enam agama resmi di Indonesia, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.

Sebelumnya, pada Selasa (7/11), MK memutuskan mengabulkan permohonan para pemohon uji materi terkait Undang-Undang (UU) Administrasi Kependudukan (Adminduk). Kata agama yang ada pada Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Adminduk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk kepercayaan.

Berdasarkan putusan itu, untuk menjamin hak konstitusional para pemohon, maka kata agama dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Adminduk harus mencakup penganut kepercayaan. Uji materi terhadap pasal-pasal tersebut diajukan oleh empat orang pemohon. Mereka adalah Nggay Mehang Tana (penghayat Marapu), Pagar Demanra Sirait (penghayat Parmalim), Arnol Purba (penghayat Urgamo), dan Carlim (penghayat Sapto Darmo).

(Tulisan diolah oleh Muhammad Hafil).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement