Ahad 12 Nov 2017 15:28 WIB

Lafran Pane: Menjahit Indonesia dengan HMI

Kader HMI Cabang Solo berjalan kaki di Jalan Slamet Riyadi, mengabarkan pada warga tentang sosok Lafran Pane yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional, Ahad (12/11)
Foto: republika
Lafran Pane

Pak Lafran sosok langka, kesederhanaan itu telah menginstitusi menjadi cara pandang dan etitude atau prilaku hidup.

Satu hal penting yang perlu dicatat dari  integritas Pak Lafran, ia tidak pernah mengintervensi atau untuk mempengaruhi setiap kebijakan organisasi HMI meskipun ia pemerkarsa dan pendiri organisasi yang didirikan dua tahun setelah Indonesia merdeka.

Saat kongres HMI di asrama haji Pondok Gede Jakarta 1990 misalnya, kebetulan saya ikut menemani Pak Lafran saat menunaikan shalat jumat dan yang berkhotbah hari itu MS. Kaban juga salah satu kendidat terkuat selain Ferry Mursyidan dan M Yahya Zaini. Usai kami shalat sambil jalan balik Pak Lafran berkomentar: "Merugilah Bila Kongres ini tidak Memilih MS Kaban".

Boleh jadi Pak Lafran tertarik mengakui kefasehan dan kehebatan MS Kaban ketika berkhotbah pada jumat tadi. Apalagi kongres ini diharapkan menjadi jalan rekonsiliasi antara HMI Dipo dan HMI MPO. Tapi memang Pak Lafran tidak ingin mempengaruhi kejernian kongres dan independencia HMI sehingga pada akhirnya kongres secara mayoritas memenangkan Ferry Mursyidan Baldan sebagai Formature Ketua Umum untuk periode 1990 - 1992.

Hemat saya, gelar Pahlawan itu layak dan lumrah bila Negara yang memberikan pada seorang putra bangsa yang telah berkhidmat untuk ibu pertiwi. Dan HMI yang diprakarsai Pak Lafran sejak berdirinya hingga saat ini telah berkiprah, berdedikasi, berkhidmat untuk negeri yang besar ini dg beragam keahlian, profesi, jabatan di semua level di tanah air tercinta ini. Semua itu tercatat oleh tintas emas dlm sejarah HMI, bhw anak anak bangsa dari seluruh penjuruh tanah air, dicetak dan godok melalui mesin perkaderan HMI.

Mesin itu bekerja secara terorganisir dan terstruktur yang sanggup melahirkan potret anak anak bangsa yang memiliki platform ke Islaman dan Indonesiaan yang integralistis. Nilai keislam dan keindonesiaan itu terinstitusi menjadi platform atau cara pandang setiap anggota HMI. Keislaman dan keindinesian menjadi identitas kedirian setiap generasi autput perkaderan HMI.

Olehnya pantaslah bila kemudian Prof Dr Deliar Nur salah seorang mantan Ketua Umum PB HMI mendeklarasikan dirinya sebagai Kader Ummat dan Kader Bangsa. Artinya dimensi spiritual maupun konseptual keummat dan kebangsaan itu menginternalisasi pada setiap kesadaran fikir dan gerak mahluk yg bernama kader  HMI.

Peran HMI yang terpenting mewijudkan Lima kualitas insan cita. Insan acedemis, insan pencipta, insan pengabdi, insan yang bernafskan islam, insan yang bertanggung jawab atas terbentuk masyarakat adil makmur yang diridlohi Allah Swt.

Dengan begitu setiap kader HMI sanggup menjahit jaringan Kesatuan NKRI dengan mendasari konsepsi ideologis Islam dan ke Indonesiaan yang tumbuh subur di seluruh pelosok negeri ini. Di mana bumi tempat anak anak HMI menanamkan kaki untuk berkhidmat. Di mana tempat kader HMI berkhidmat disitu tertanam dan tumbuh spirit Ke Islam dan ke Indonesiaan. Sehingga eksistensi HMI Bagai Pohon bersenyawa dengan tanah dimanapun ia tumbuh.

Saya kira orang orang bijak di negeri ini tentu mengerti betul cetak biru dan pergumulan internalisasi HMI seperti keberadaan HMI saat ini,  bagai pohon tumbuh subur menjadi pelindung lingkungan strategis dan kebudayaan sosial di Indonesia. Apalagi HMI terlahir beririsan dg rasa kekecewaan tokoh tokoh islam di BPUPKI atas hilangnya 7 kata dlm piagam Jakarta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement