Jumat 10 Nov 2017 00:15 WIB

Buya Hamka Dulu, Ustaz Abdul Somad Sekarang

Satriwan Salim
Foto: istimewa
Satriwan Salim

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Satriwan Salim *)

Tulisan sederhana ini bukan bermaksud membanding-bandingkan, melebihkan yang satu mengurangi yang lain, memuji-muji dan mengangkat yang satu merendahkan yang lain. Antara pribadi Buya Hamka (1908-1981) dengan seorang ustad yang sekarang sedang naik daun di dunia youtube, bernama Ustad Abdul Somad (selanjutnya ditulis UAS). Melainkan hendak menampilkan nilai-nilai apa saja yang bisa kita petik dari kepribadian kedua alim tersebut, untuk dijadikan teladan bagi umat.

   

Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), meraih gelar Dr HC (doktor honoris causa) atas pemberian universitas Islam tertua di dunia, Universitas Al Azhar, Kairo Mesir. Berasal dari keluarga ulama pula, bahkan ayahnya pun mendapatkan gelar Dr HC dari universitas yang sama. Ayah dan anak yang sama-sama meraih gelar kehormatan dari kampus Islam ternama. Sehingga ayah Hamka yang bernama Abdul Karim Amrullah, oleh masyarakat kampungnya di Maninjau-Agam, dipanggil dengan sebutan “Inyiak Deer” (lebih lanjut baca buku “Ayahku” karya Hamka, 1982).

   

Pribadi Hamka adalah seorang ulama cum sastrawan dan politisi, sudah menjadi sosok panutan umat Islam di zamannya. Tak hanya di Indonesia, nama besar beliau menggema di Asia Tenggara. Bahkan mantan perdana menteri Malaysia, Tun Abdul Razak kala meninggalnya Buya Hamka mengatakan, “Hamka tidak hanya milik bangsa Indonesia, tetapi kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara.”

   

Buya Hamka telah menunjukkan kemampuan menulisnya sejak usia 17 tahun. Sejak itu sampai Buya meninggal, beliau sudah menulis 118 buku; bertemakan agama, sejarah, novel, biografi, adat Minangkabau, politik, ideologi, negara, filsafat dan tafsir Alquran yang berjilid-jilid (Rusydi Hamka, 2017). Sungguh ini bentuk produktivitas yang luar biasa, di tengah mesin cetak, perangkat penerbitan dan mesin ketik belum secanggih dan sebanyak zaman kini.

Lebih mengagumkan lagi, Buya adalah sosok otodidak dalam proses perkembangan intelektualnya yang multidisplin dan unik. Otodidak dalam artian, beliau tidak pernah duduk di bangku sekolah formal sampai jenjang universitas (Irfan Hamka, 2013). Bahkan SD pun hanya dialaminya selama 3 tahun, lalu berhenti.

Walaupun untuk pengetahuan agama, modal dasar dari ayahnya, seorang ulama pembaharu Islam di Indonesia dan pendiri Sumatera Thawalib (lebih lanjut lihat “Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942”, Deliar Noer, 1982) sudah cukup kiranya sebagai pijakan dasar dalam memahami khazanah keilmuan Islam.

Hamka kemudian dikenal dengan sikapnya yang gigih, tegas dan lurus dalam berprinsip. Ketika menjabat sebagai ketua umum MUI pusat pertama tahun 1975-1981, Hamka dengan tegas mengeluarkan fatwa terkait pelarangan (haram) perayaan Natal bersama di masyarakat. Tentulah fatwa ini menimbulkan gejolak, khususnya bagi pemerintah.

Tapi, Hamka tetaplah Hamka, yang tegak punggungnya, berpijak pada prinsip yang lurus dan tak bisa dibeli. Sebagai seorang ulama, beliau sering berpetuah, “Menjadi ulama itu seperti kue bika, dipanggang dari atas (intervensi/kemauan pemerintah-red), dipanggang dari bawah (aspirasi umat-red).” Prinsip lurusnya Buya tadi dibuktikan dengan pengunduran dirinya sebagai ketua umum MUI pusat, karena perbedaan pandangan dengan pemerintah Soeharto.

Setiap hari setelah shalat Subuh berjamaah, Buya selalu memberikan kuliah Subuh di depan para jamaahnya, yang memadati Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru. Seperti yang diungkapkan wartawan senior Rosihan Anwar (1922-2011). “...Di samping itu, pengajian dan kuliah Subuh berkembang di berbagai masjid. Akan tetapi, agaknya kuliah Subuh yang paling mendapat minat, ialah yang dipimpin oleh Hamka sendiri di Masjid Al-Azhar di Kebayoran Baru. Tafsiran Alquran yang diberikannya di kuliah Subuh itu memperoleh pendengar yang banyak...” (Rusydi Hamka, hal. 181).

Jamaah selalu memadati pengajian kuliah Subuh tersebut. Model ceramahnya sangat klasik. Diawali ceramah, selepas itu para jamaah diberikan kesempatan bertanya, baik secara langsung maupun melalui kertas yang sudah ditulis pertanyaan. Mendengar ceramahnya, kita akan mudah ingat karena bahasa dan logat Buya yang khas, suaranya yang agak parau, ditambah dengan seringnya Buya mengutip pepatah-petitih tradisional Minang (Melayu), jika hendak menerangkan sebuah perkara.

Ditambah lagi, wawasan keilmuan Islam yang dalam, Buya memang mampu membuat suatu soalan menjadi terlihat mudah, tapi bukan untuk menyepelekan. Ketika menjawab perihal hukum fiqh yang tinggi tingkat khilafiyahnya, Buya menerangkan ragam kalam ulama, seraya tak lupa mengutip ayat Quran dan Hadist. Buya adalah sosok yang sangat toleran terhadap perbedaan fiqh, masalah-masalah furu’iyah.

Kisah yang cukup dikenal masyarakat adalah, di saat Buya bertamu ke kediaman ulama Betawi KH Abdullah Syafii di daerah Tebet Jakarta Selatan. Kala itu Buya diminta menjadi imam shalat Subuh oleh sohibul bait, Buya lantas maju menjadi imam. KH Abdullah Syafii berkeyakinan qunut Subuh hukumnya sunah ab’ad dalam Madzhab Syafii, hukumnya seperti duduk tahiyat awal ketika salat Zuhur/Ashar/Maghrib/Isya.

Sebagai tokoh Muhammadiyah yang berkeyakinan tidak ada qunut Subuh, namun dengan senang hati Buya melakukan qunut Subuh demi menghormati sang tuan rumah. Buya menghormati orang yang berbeda prinsip fiqh dengan dirinya, bukan dengan cerita, tetapi melalui tindakan nyata.

   

Begitu pula ketika K. Abdullah Syafii bertamu ke Buya di Masjid Al-Azhar pada suatu Jumat. Ketika hendak khutbah, Buya mempersilakan kiai gaek ini menjadi katib Jumat, padahal jadwal katib sebenarnya adalah Buya sendiri. Bahkan, Buya meminta muadzin untuk azan Jumat sebanyak 2 kali, sebagaimana tradisi fiqh ulama-ulama madzhab Syafii. Semua itu Buya lakukan karena menghargai perbedaan madzhab fiqh, perbedaan yang sifatnya furuiyah belaka, bukan prinsip (ushul) baginya.

   

Begitulah wajah toleransi Buya terhadap perbedaan khilafiyah. Sebab baginya, persatuan umat lebih penting dan mendesak ketimbang memperlebar jurang perbedaan fiqh. Bahkan terhadap “musuh” politiknya sendiri Buya Hamka memperlakukannya dengan kasih sayang. Singkat cerita, Muhammad Yamin adalah sosok tokoh nasional yang sangat membenci Buya Hamka, karena Buya yang Masyumi dianggap mendukung (terlibat) pemberontakan PRRI di Sumatera Tengah.

Tapi, ketika Yamin sedang sakit-sakitan hendak meninggal, dia berpesan pada Chaerul Saleh agar Hamka didatangkan ke hadapannya. Dia hendak meminta maaf. Setelah Hamka datang, Yamin pun meminta maaf, sambil memegang erat tangan Buya. Sambil keduanya berurai air mata, Buya memaafkan segala kesalahan Yamin itu.

Dalam wasiatnya, Yamin meminta agar Hamka membantu proses pemakamannya di Nagari Talawi Solok, kampungnya. Dia khawatir sebab orang kampung membencinya, dikarenakan Yamin sedari dulu anti (memusuhi) PRRI dan Masyumi.

Begitu pula ketika Soekarno hendak meninggal, dia meminta agar Buya yang mengimami shalat jenazah jika dia meninggal kelak. Wasiat inipun dipenuhi Buya dengan ikhlas karena Allah. Padahal, Hamka dipenjarakan tanpa proses pengadilan selama 2 tahun lebih oleh rezim Soekarno. Bahkan di penjara yang berpindah-pindah itu Buya mengalami penyiksaan. Tapi, tidak ada dendam kesumat sedikitpun, benar-benar luas hatinya (lihat “Pribadi dan Martabat Buya Hamka”, Rusydi Hamka, 2017).

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement