Jumat 10 Nov 2017 00:15 WIB

Buya Hamka Dulu, Ustaz Abdul Somad Sekarang

Satriwan Salim
Foto:
Tafsir Al-Azhar karya Buya HAMKA.

Sekarang kita berlanjut kepada figur Ustad Abdul Somad (lebih lanjut ditulis UAS). UAS adalah sosok ustad yang saat ini sedang memuncak pamornya, khususnya bagi netizen yang akrab dengan media sosial seperti youtube, facebook (fb) dan instagram.

UAS adalah seorang sarjana lulusan S-1 Universitas Al-Azhar dan S-2 Dar Al-Hadits Al-Hassania Institute, Kerajaan Maroko. Pria campuran Melayu Deli dan Riau, saat ini, tinggal di Pekanbaru dan berprofesi sebagai dosen PNS di UIN Sultan Syarif Kasim Riau.

Publik mungkin menilai, terlalu prematur untuk menyandingkan Hamka dan Abdul Somad. Tapi bagi saya, taklah berlebihan jika mengatakan Hamka dan UAS sama-sama menjadi panutan umat. Mengajarkan umat untuk menghargai perbedaan, toleran, ulama yang lurus, tegas dan merangkul semua kelompok Islam. Mereka mengajarkan kita semua nilai itu.

Di era teknologi informasi yang makin canggih, pemanfaatan media sosial internet menjadi keniscayaan. Puncak gelombang peradaban umat manusia dengan hadirnya abad informasi di abad 21, demikian yang ditulis futurolog Alvin Toffler (lihat “Future Shock”, Alvin Toffler, 1970).

Produksi, distribusi, penggunaan sampai pada perekayasaan konten media informasi adalah wajah peradaban manusia modern sekarang. Otomatis pemanfaatan media sosial sebagai sarana efektif dalam berdakwah adalah sebuah kebutuhan. Kebutuhan dakwah modern, di era informasi-komunikasi kepada masyarakat yang cakap juga dalam menggunakannya, yang disebut netizen.

Terkenalnya UAS satu tahun terakhir ini, adalah fenomena dakwah Islam yang sebenarnya bukan hal yang baru. Sederetan nama-nama ustad (dai/mubalig) kondang, yang sudah lama terkenal jauh sebelum UAS juga pernah terjadi.

Mulai dari yang senior seperti KH. Zainuddin MZ, KH. Anwar Sanusi dan Aa Gym sampai kepada Habib Rizieq, Habib Munzir Al Musawwa, Ustad Arifin Ilham, Ustad Yusuf Mansur, Ustad Jefri Al Bukhori, Ustad Wijayanto, Mamah Dedeh, Ustad Solmed sampai pada Ustad Maulana. Umumnya mereka dikenal melalui media tv nasional.

Beberapa nama dai di atas bisa dikategorikan sebagai “ustad seleb”, yaitu para mubalig yang dikenal publik berdakwah melalui media tv, sering muncul di tv, memiliki acara khusus di sebuah stasiun tv, bahkan ramai pemberitaan dirinya (keluarga) di acara-acara infotainment misalnya (lihat “Ustadz Seleb: Bisnis Moral & Fatwa Online”, Greg Fealy dkk, 2012).

Uniknya kemunculan UAS sampai saat ini bukan karena infotainment, bukan dari media tv melainkan dari media sosial. Berbagai ceramah UAS bisa diakses oleh publik melalui youtube dan fb.

Pertanyaan kemudian adalah, “Apa penyebab sehingga dakwah-dakwah UAS selalu dinikmati, ditunggu-tunggu bahkan dihadiri oleh puluhan ribu jamaah, di setiap beliau berdakwah? Apa gerangan yang menjadi magnet penarik, keunikan, sehingga jamaah sampai ke angka 13 ribu viewers lebih menonton secara live streaming, di setiap ceramah UAS melalui fb?

Bahkan dalam ceramah-caramahnya, UAS sering menyampaikan pada jamaah bahwa jadwal “manggung” ceramah beliau sudah full sampai Desember 2018, baik di level lokal, nasional maupun internasional. Sebagai penceramah yang tak lahir dari produk infotainment dan entertainment tv, tentu  ini adalah fenomena yang menakjubkan dan unik.

Dikenal melalui youtube yang videonya dishare oleh jamaah. Bukan karena berita gosip infotainment media tentang dirinya, tetapi lebih karena luas dan dalamnya pemahaman keislaman UAS. Dikenal bukan karena skenario tv/rekayasa media mainstream, melainkann karena kehendak masyarakat Islam, yang selalu membagi video-video ceramahnya secara online.

UAS hadir pada saat yang tepat, di tengah ghiroh umat Islam yang haus ilmu agama, pengetahuan tentang syariat Islam. Ditambah menguatnya dakwah-dakwah dari sekelompok ustad yang mengidentifikasikan diri/kelompoknya dengan sebutan “Salafi”, yang terkadang isi ceramahnya cenderung memperlebar jurang khilafiyah di tengah keragaman umat dalam praktik ibadah (fiqh). Bahkan acap kali ustad-ustad tersebut dengan berani tanpa tedeng aling-aling, langsung melabeli bid’ah setiap praktik peribadatan muslim Indonesia, yang sudah mentradisi.

Tentu model dan gaya dakwah seperti di atas akan lebih mudah membuat umat terpecah-belah. Padahal sebagai muslim diwajibkan oleh Allah untuk menjaga persatuan dan berpegang teguh pada tali Allah, jangan bercerai-berai. Fenomena dakwah yang serupa ini juga berpotensi melahirkan konflik horizontal di internal Islam sendiri. UAS tampil sebagai antitesis model dan gaya dakwah yang serba menyalahkan dan membid’ahkan tersebut.

Tampilan dakwah yang berisi, luasnya wawasan perbandingan madzhab beliau (Madzhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali), penuh dengan guyonan cerdas ditambah logat Melayu yang khas. Menerangkan suatu perkara agama secara tegas, jelas, berdasar dalil dan selalu disisipi humor. Sehingga jamaah pun terhibur, tapi ilmunya tetap didapat.

UAS juga selalu memberikan pilihan kepada jamaah, dalam suatu perkara ibadah yang domainnya ilmu fiqh misalnya, seperti masalah qunut Subuh. UAS dengan terbuka dan gamblang memberikan pandangan tiap-tiap madzhab ulama akan hukum qunut Subuh itu. “Jangan berkelahi hanya masalah khilafiyah!”, demikian nasihat UAS yang acap kali disampaikan.

Urusan produktivitas kepenulisan, UAS sudah menulis buku-buku; “37 Masalah Populer” (2014), “99 Tanya Jawab Seputar Shalat” (2013), “33 Tanya Jawab Seputar Qurban” (2009), dan “30 Fatwa Seputar Ramadhan-terjemahan” (2011). Semua buku karya UAS tersebut bisa diakses secara gratis, baik di internet (ebook-pdf) maupun melalui aplikasi appstore/playstore. Sangat mengagumkan, UAS mempermudah umat belajar Islam secara praktis dan efektif.

Makanya taklah heran, banyak jamaah yang berujar jika UAS adalah Hamka zaman sekarang. Sebab, UAS mengedepankan toleransi, penghargaan terhadap perbedaan madzhab, menjunjung tinggi persatuan umat dan selalu menekankan agar umat Islam Indonesia melek politik dan berdikari dalam ekonomi. UAS selalu menyuarakan Islam dan politik tak bisa dipisahkan.

Mayoritas umat Islam di Indonesia secara ekonomi adalah kelas menengah ke bawah. Baginya perekonomian umat adalah mutlak tanggung jawab bersama umat Islam. Makanya UAS mengingatkan tentang pemberdayaan perekonomian umat dengan membangun dan mengembangkan sistem ekonomi syariah, hidupkan bank-bank syariah.

Momentum “persatuan umat” dengan aksi damai 411, 212 dan seterusnya, juga berpengaruh terhadap kesadaran umat akan politik. Ini berdampak terhadap popularitas UAS. Baginya syariat Islam hanya akan berjalan dengan baik, jika umat Islam sadar politik, cerdas dalam berpolitik. Satu-satunya jalan agar syariat Islam bisa diimplementasikan di Indonesia yang demokratis ini adalah melalui kekuasaan.

Makanya, bagi beliau pilihlah calon-calon pemimpin, kepala daerah dan legisltaif yang tidak alergi terhadap aspirasi umat. 3 (tiga) poin utama sebagai fokus politik Islam (khususnya di daerah melalui Peraturan Daerah) baginya adalah: 1) integrasikan mata pelajaran bercirikan Islam di sekolah umum (ilmu fiqh, tarikh, aqidah dan lainnya), 2) kepala daerah membuat aturan tentang zakat di daerahnya dan 3) kepala daerah diminta membuat Perda-perda yang bernuansa Islam.

Baginya semua cita-cita politik Islam tersebut, hanya bisa dicapai jika umat Islam yang berkuasa. Tapi jalan untuk mencapainya harus dengan cara-cara demokratis dan konstitusional sesuai hukum, tidak menggunakan kekerasan katanya.

Jadi taklah berlebihan, jika respons umat Islam akan kehadiran dakwah UAS saat ini sangat antusias. Hamka muda telah lahir, walaupun keduanya memiliki perbedaan. Hamka pernah menjadi pengurus Muhammadiyah, sedangkan Ustad Abdul Somad pernah menjadi pengurus Nahdlatul Ulama (Lembaga Bahtsul Masail) PWNU Riau.

UAS bergaul dengan kelompok Islam manapun seperti Muhammadiyah, Jamaah Tabligh, Tarbiyah, Perti, Persis, Salafi bahkan FPI, MMI dan HTI yang sudah dibubarkan pemerintah saat ini. UAS juga bercerita, pernah menjadi pengurus masjid Muhammadiyah di Pekanbaru selama 2 tahun. Padahal secara madzhab fiqh, dirinya berbeda dari saudara-saudara di Muhammadiyah. Tiap kali diminta menjadi imam di masjid Muhammadiyah tersebut, dengan rendah hati UAS selalu menolaknya. Dia memilih untuk menjadi makmum saja, karena menghormati jamaah Muhammadiyah.

UAS pun sering mengutip dan menceritakan kisah heroisme dan keulamaan Hamka dalam ceramahnya. UAS mengatakan, dia mengidolakan sosok Hamka, seorang ulama pejuang. Banyak kemiripan keduanya. Sama-sama memperoleh gelar dari Al-Azhar Kairo, dan produktif menulis.

Memiliki kemiripan dalam berceramah, bergaya khas, logat Melayu yang kental, suka berpepatah-petitih Melayu (Minangkabau), suara yang parau dan ceramah yang selalui diikuti oleh tanya jawab memakai media kertas yang tumpukannya melebihi tebalnya skripsi. Jamaahnya berduyun-duyun, selalu memadati masjid saat mendengar dakwahnya. Itulah beberapa kemiripan Buya dan UAS.

Terpenting adalah Hamka dan UAS sama-sama mengajarkan kita umat Islam, tentang indahnya perbedaan, pentingnya menjaga persatuan umat, kesadaran politik bernegara dan paling utama adalah tidak menonjolkan khilafiyah.

Persatuan umat yang mesti dikedepankan. Hamka dan Ustad Abdul Somad membuktikannya dengan tindakan. Ini mendesak dilakukan, karena jika umat terus berkonflik karena urusan khilafiyah, maka persatuan umat Islam hanya akan tinggal utopia belaka.

Semoga Allah senantiasa meridhoi almarhum Buya Hamka dan memberikan kemudahan dalam berdakwah bagi Ustad Abdul Somad, Sang Hamka Muda...!

*) Pengajar Labschool Jakarta-UNJ/Peneliti PUSPOL Indonesia, [email protected]

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement