REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- LSM Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mendorong penghentian penggunaan energi fosil yang mengotori lingkungan seperti batu bara dan PLTU batu bara. Berdasarkan keterangan, Senin (6/11) Konferensi Perubahan Iklim COP23 Fiji yang berlangsung di Bonn, Jerman, telah resmi dibuka pada 4 dan 5 November 2017.
Berbagai elemen dari organisasi masyarakat sipil maupun individu yang peduli pada keselamatan manusia dan seluruh makhluk hidup melakukan aksi atau pawai iklim dengan massa mencapai 20 ribu orang. Mereka bersama-sama menyuarakan keadilan iklim dan mendesak penghentian penggunaan energi kotor yang telah membakar bumi dan menyebabkan perubahan iklim.
Pada 5 November, bertempat di tambang batu bara di Hambach, 50 kilometer dari tempat pelaksanaan COP23, aksi pendudukan tambang batu bara dilakukan oleh aktivis Jerman dan negara-negara lain dengan desakan yang sama. Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi Yuyun Harmono mengatakan aksi ini bagian dari upaya menghentikan pengunaan energi kotor dan mendesak pemimpin dunia untuk secara serius mengatasi perubahan iklim. Juga mengoreksi secara mendasar paradigma pembangunan ekonomi global yang bertumpu pada energi kotor dan mematikan seperti batu bara.
Eksekutif Nasional WALHI, WALHI Sumsel, WALHI Babel, WALHI Jambi, dan WALHI Aceh turut mengambil bagian dalam aksi selama dua hari itu. Sementara itu, Direktur WALHI Sumsel Hadi Jatmiko menyatakan bahwa berbagai persoalan tambang batu bara di Indonesia menjadi fakta yang tidak bisa ditutupi, yang berakibat pada penghancuran hutan dan wilayah kelola rakyat, pencemaran, krisis sosial budaya dan ekonomi, penghancuran sumber pangan dan bencana ekologis dan perubahan iklim.
"Kami juga mendesak agar para pemimpin dunia dan Indonesia khususnya untuk tidak melanjutkan solusi palsu dalam penanganan perubahan iklim, termasuk dengan restorasi yang pada akhirnya dibajak oleh korporasi," ujarnya
WALHI sebagai bagian dari gerakan masyarakat sipil Indonesia dan masyarakat global mendesak agar dalam COP 23 para pemimpin dunia dan khususnya pemerintah Indonesia secara serius membahas nasib bumi dan keselamatan manusia yang terancam dari dampak perubahan iklim.
Pemimpin dunia diharapkan mengambil langkah-langkah serius untuk menghentikan penggunaaan energi fosil khususnya batu bara yang kotor dan mematikan. Hal itu jika mereka memiliki komitmen sebagaimana yang tertuang dalam Paris Agreement.