REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa hukum Ketua DPR RI Setya Novanto, Fredrich Yunadi menegaskan, kliennya tak akan memenuhi panggilan pemeriksaan, jika KPK belum mengantongi izin tertulis dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Digunakannya alasan harus adanya surat izin Presiden Jokowi dalam pemanggilan Novanto sebagai saksi dalam kasus korupsi proyek pengadaan KTP-elektronik (KTP-el) menurut Yunadi karena lantaran ia baru saja menjadi kuasa hukumnya Novanto.
"Karena dahulu pengacara beliau bukan saya. Menurut pendapat hukum saya KPK wajib minta izin presiden, sebagaimana putusan MK Nomor 76/PUU-XII/2014," kata Yunadi saat dikonfirmasi Republika, Senin (6/11).
Putusan MK yang dimaksud Fredrich adalah terkait soal uji materi Undang-Undang Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Dalam putusan MK tersebut, Pasal 245 ayat (1) tidak berlaku sepanjang tidak dimaknai, "Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden."
Namun, dalam Pasal 245 ayat (3), ketentuan pada ayat (1) tak berlaku bila, "Anggota DPR tertangkap tangan melakukan tindak pidana, tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau terhadap kemanusiaan dan keamanan negara, dan disangka melakukan tindak pidana khusus dan kejahatan korupsi merupakan salah satu tindak pidana khusus, yang diatur dalam undang-undang."
Frederich pun memaparkan isi dari UU MD 3 pasal 245 ayat (1) yang menuliskan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
Kemudian di ayat( 2) tertulis, "Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan".
Dan pada ayat ke(3) dituliskan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau c. disangka melakukan tindak pidana khusus.
Sementara untuk putusan MK RI No 76/PUU-XII/2014 , tanggal 20/11/2014 , adalah :
2.1 Frasa persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan dalam Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai persetujuan tertulis dari Presiden;
2.2 Frasa persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan dalam Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5568) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai persetujuan tertulis dari Presiden.
2.3 Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) selengkapnya menjadi Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden .
"Dengan demikian putusan MKRI telah membatalkan pasal 245 (1) UU MD 3, dimana di pasal 245 (3), ketentuan pada ayat (1) tak berlaku bila anggota DPR tertangkap tangan melakukan tindak pidana, tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau terhadap kemanusiaan dan keamanan negara, dan disangka melakukan tindak pidana khusus. Dengan demikian penyidik wajib meminta izin tertulis dari Presiden dan wajib mendapatkan persetujuan tertulis dari Mahkamah kehormatan Dewan sebagaimana pasal 245 (2) yang tidak dibatalkan Oleh MK RI," kata Frederich.
Menurut Kabiro Hukum KPK Febri Diansyah, penyidik KPK masih membutuhkan keterangan Novanto untuk melengkapi berkas perkara tersangka, Anang Sugiana Sudiharja. Diduga ada sejumlah hal yang ingin dikonfirmasi ke Novanto, di antaranya soal pertemuan Anang di rumahnya pada 2011 silam.