REPUBLIKA.CO.ID, KLUNGKUNG -- Para pengungsi Gunung Agung di Kabupaten Klungkung Bali memilih pulang ke rumah masing-masing di berbagai wilayah di Kabupaten Karangsem untuk merayakan Hari Raya Galungan, hari kemenangan Dharma (Kebaikan) melawan Adharma (Keburukan).
"Kami memilih di rumah saja merayakan Galungan. Status juga sudah lebih aman. Jadi tidak perlu takut lagi berada di rumah," kata Ketut Suada (51), pengungsi asal Desa Muncan, Kabupaten Karangasem, Senin (30/10).
Menurutnya, peringatan Galungan setiap enam bulan sekali merupakan hal penting. Selain merupakan hari besar keagamaan juga sebagai sarana berkumpul dan bercengkrama dengan sanak keluarga di kampung halaman. Terlebih, hampir sebulan lebih dirinya bersama keluarga berada di pengungsian di GOR Swecapura, Klungkung yang jauh dari rumahnya di Muncan.
"Kami sudah lama tidak berkumpul dengan sanak keluarga di desa. Pengungsi asal Muncan tersebar di berbagai wilayah di Klungkung," tutur dia.
Setelah dipulangkan, Suada mengaku akan tetap berada di rumah sembari menunggu informasi lanjutan dari kepala desa dan pemerintah daerah. "Saya ikut saja apa keputusan pemerintah. Kalau pulang ya pulang. Kalau disuruh mengungsi kami akan kembali lagi ke pengungsian," paparnya.
Salah satu pengungsi, Nyoman Parwata (45), pengungsi lain asal Desa Muncan mengungkapkan akan kembali ke pengungsian setelah selesai melaksanakan ritual upacara Galungan di desa. "Saya akan kembali lagi nanti setelah selesai Galungan. Saya masih merasa takut berada di rumah karena statusnya masih siaga," kata Parwata.
Hari Raya Galungan merupakan salah satu hari suci besar umat Hindu di Pulau Dewata setiap enam bulan sekali. Galungan diperingari dengan melaksanakan persembahyangan di pura. Selain itu dimanfaatkan sebagai sarana berkumpul dan bertegur sapa dengan sanak keluarga pada Umanis Galungan atau sehari setelah Hari Suci Galungan.