Kamis 26 Oct 2017 19:59 WIB

Tahun 2018, Upah Minimum Sumbar Rp 2,1 Juta

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Gita Amanda
Upah Minimum Regional (ilustrasi).
Foto: Antara/Rosa Panggabean
Upah Minimum Regional (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Berdasarkan perhitungan pengupahan provinsi, maka Upah Minimum Provinsi (UMP) Sumatra Barat tahun 2018 sebesar Rp 2,1 juta. Angka ini naik 8,71 persen dari UMP tahun 2017 sebesar Rp 1,9 juta. Perhitungan kenaikan UMP ini mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan, yakni dari penjumlahan pertumbuhan ekonomi dan inflasi saat ini, kemudian dikalikan dengan besaran UMP di tahun berjalan. Dengan pertumbuhan ekonomi nasional.

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumbar Nazrizal menilai, kenaikan UMP secara "pasti" setiap tahunnya merupakan hal positif bagi pekerja di Sumatra Barat. Kenaikan UMP ini, lanjutnya, diharapkan mampu memotivasi para pekerja untuk bisa berkontribusi dalam pekerjaanya seoptimal mungkin.

 

"Semoga para pekerja di Sumbar bisa memanfaatkan peluang kerja yang tengah dijalani dengan baik," kata Nazrizal, Kamis (26/10).

 

Sementara itu, Ketua Perwakilan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumatra Barat Muzakir Aziz menilai bahwa adanya PP 78 tahun 2018 tentang Pengupahan merupakan satu jaminan bagi para buruh dan pekerja lainnya untuk memperoleh peningkatan kesejahteraan. Berdasarkan survei awal dalam penentuan formula pengupahan, lanjutnya, UMP di Sumatra Barat sudah tergolong di atas Kebutuhan Hidup Layak (HKL) skala nasional. Artinya, menurutnya, besaran UMP di Sumatra Barat terbilang ideal bila dibandingkan dengan KHL yang ada.

 

Ganjalan yang ada, menurut Muzakir, adalah peruntukan beleid pengupahan yang masih belum tegas. Menurutnya saat ini masih banyak bos atau pemilik usaha yang belum menggaji pekerjanya di bawah UMP. Contohnya adalah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang berkontribusi terhadap 90 persen lebih jenis usaha di Sumatra Barat.

 

"Apakah seluruh UMKM itu sanggup dibayar sesuai UMP? Kalau dipaksa Rp 2,1 juta kan tutup dia," ujar Muzakir.

 

Hal tersebut membuat beleid soal pengupahan tidak dijalankan sepenuhnya di lapangan. Hanya perusahaan-perusahaan besar saja yang dianggap sanggup memenuhi besaran UMP tersebut. Sayangnya bila ditilik lebih jauh, Muzakir melihat ada kecenderungan perusahaan besar memilih menurunkan skala gajinya menyesuaikan UMP. Kondisinya, UMKM tak sanggup menggaji sesuai UMP, namun perusahaan raksasa memilih menggaji karyawan dengan gaji "mepet" UMP.

 

"Makanya ketika ada yang nggak bayar UMP pemerintah nggak bisa apa-apa saja. Kalau perlu UU ini diubah lagi fokusnya UMP buat siapa saja," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement