Kamis 26 Oct 2017 10:17 WIB

Perppu Ormas: Terbukanya Kotak Pandora Hatta dan Ki Bagus

 Pasukan Asmaul Husna dan massa Aksi Tolak Perppu Ormas shalat zuhur berjamaah dipimpin   seorang imam daro peserta aksi massa,Ustadz Rokhmat S Labib ketua ex HTI selaku Imam shalat Zuhur di Gerbang Komplek Parlemen Senayan, Selasa (24/10).
Foto:
Rapat BPUPKI

Dahulu, nun 72 tahun silam, menjelang kemerdekaan, di dalam sidang BPUPKI, Ki Bagus Hadikusumo beragumentasi dengan lugas mengenai dasar negara Indonesia yang berdasarkan syariah Islam. Tentu saja penolakan terjadi. Kelompok nasionalis, tokoh non islam, dan utusan dari tokoh Indonesia timur tak sepakat. Maka terjadilah perdebatan yang keras.

Berkali-kali Ki Bagus secara terbuka kesal karena argumentasi penolakan yang diberikan atas pendapatnya terkesan ‘waton suloyo’ dan mengidap penyakit mental bawaan kolonialis: Islamopobia. Ki Bagus naik tensinya ketika menanggapi perdebatan dengan tak lagi mengucap salam ketika memulai pendapatnya dalam soal tentang agama di konstitusi (saat ini pasal 29 UUD 1945), tapi mengucapkan ‘ta’awud’: meminta perlindungan kepada Allah atas godaan setan terkutuk.

Ki Bagus resah bila Indonesia merdeka nanti kaum Muslimin Indonesa akan meninggalkan agamanaya, dan kembali ke agama yang lain. Saat itu memang tengah seru dibahas soal keberadaan tujuh kata mengenai: kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Tensi perdebatan kala itu terus meninggi. Para tokoh yang menjadi utusan golongan Islam, seperti Ki Bagus, KH Moedzakir, KH Sanoesi, KH Wahid Hasyim, dan lainnya tetap bertahan dalam argumentasinya. 

Saking kesalnya KH Moedzakkir  misalnya mengecam sikap Islamophoia yang saat itu sudah berlebihan. Tokoh pergerakan Islam ini menegaskan bila tak mau memakai ajaran atau ‘syariah Islam’, maka hal yang berkenaan dengan nama Allah, nama Agama, Rahmat-Nya, berkat-Nya, hak-Nya, pertolongan-Nya dicoret dari undang-undang dasar yang tengah dibahas itu.

Sedangkan kelompok yang diseberangnya yang disebut kaum nasional juga tetap bergeming pada pendapatnya. Meski begitu, tokoh kaum Nasionalis Sukarno, sempat menyatakan tak sependapat dengan usuan ‘Tuan” Moedzakir itu. Setelah itu barulah Ki Bagus Hadikusumo menyela dan menanggapi perdebatan. Dia mendesak dalam konstitusi negara nantinya harus jelas apakah negara akan berdasar agama atau tidak.

“Kalau-kalau sudah nyatanya netral terhadap agama jangan mengambil alih perkataan Islam yang rupanya hanya dipakai ujung-ujung saja. Orang-orang mengerti betul pengalaman ini. Orang Islam sungguh mengerti perkara agama. Kalau ada perkataan yang rupa-rupanya dipakai ujung-ujung saja tidak nyata-nyata berarti, saya tahu bahwa tidak ada baik kesannya kepada umat Islam,’’ kata Ki Bagus seraya mengatakan segera saja lakukan ‘stem’ atau voting untuk memutuskan konstitusi negara akan berdasar Islam atau tidak.

Adanya usulan segera dilakukan voting membuat suasana sidang semakin menegangkan.  Tokoh kaum nasionalis, Sukarno misalnya, sangat paham meski mereka akan menang dalam voting ini, maka negara yang akan terbentuk itu mempunyai risiko yang sangat besar, yakni adanya perasaan dari umat Islam bahwa mereka bukan menjadi pemiliknya. Umat Islam dipastikan tidak akan mau berjuang untuk mempertahankan dan membangun bangsa Indonesia.

Untunglah, dalam situasi yang menegangkan KH Sanusi dengan bijak memberi saran agar pembaasan ditunda. Apalagi saat itu waktu sidang sudah mendekati tengah malam. ‘’Jangan diputuskan sekarang...Saya minta suasana permusyawaratan didinginkan dahulu,’’ kata Sanusi.

Usulan ini segera disambut oleh pemimpin sidang Dr KRT Radjiman Wedyoningrat. “Saya setuju sekali, maka saya tutup sidang malam ini dan saya tunda sampai besok pagi,’’ sahut Radjiman menimpali usulan Sanusi.

Nah, setelah ditunda itulah, sosok Sukarno menunjukan kepiawainnya dalam memimpin. Selama semalam suntuk dia melakukan lobi kepada kedua belah pihak. Kesokan harinya keluarlah kesepakatan yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta itu. Salah satunya adalah –sesuai pidato Sukarno pada jam 09.00 WIB, tanggal 16 Juli 1945 di depan Sidang BPUPKI:Negara berdasarkan atas ke-Tuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.

Rumusan ini kemudian dibawa hingga tanggal 18 Agustus 1945. Dalam rapat pembahasan soal dasar negara para bapak bangsa itu kemudian sepakat untuk menghilangkan ‘tujuh kata’  dalam Piagam Jakarta dengan menggantinya dengan: Negara berdasarkan atas ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Saat itu atas usulan Hatta karena ada desakan dari tokoh Indonesoa Timur yang ini kemudian dijalankan melalui lobi Kasman Singodimedjo berhasil meluluhkan pendirian Ki Bagus Hadiskusumo. Keputusan ini tidak diambil melalui voting.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement