Senin 23 Oct 2017 17:27 WIB

BNPB: Pembangunan Harus Perhitungkan Risiko Bencana

Rep: Nur Aini/ Red: Elba Damhuri
Peluncuran program Sekolah Sungai Papua Barat dan Aksi Bersih-Bersih Sungai Remu di Sorong, Papua Barat, Ahad (22/10).
Foto: REPUBLIKA/Nur Aini
Peluncuran program Sekolah Sungai Papua Barat dan Aksi Bersih-Bersih Sungai Remu di Sorong, Papua Barat, Ahad (22/10).

REPUBLIKA.CO.ID, SORONG -- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mendorong pembangunan nasional mengadaptasi analisis kajian pengurangan risiko bencana. Adaptasi ini dinilai penting untuk melindungi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dari ancaman bencana sehingga menjamin keberlanjutan pembangunan.

"Kita tidak mungkin melakukan pembangunan berkelanjutan dengan mengabaikan risiko bencana karena bencana pasti akan berdampak pada pembangunan," ujar Kepala BNPB Willem Rampangilei saat membuka Peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana di Sorong, Papua Barat, Senin (23/10).

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, diakui Willem telah menekankan pada penanggulangan bencana, khususnya pengurangan risiko, ke dalam perencanaan pembangunan nasional hingga lokal. Namun, Willem mengakui belum semua kementerian dan lembaga memiliki pemahaman yang sama mengenai kebencanaan.

"Tentang pengurangan risiko bencana, ancaman bencana, bagaimana dampaknya kepada kehidupan tidak memiliki pemahaman yang sama, apalagi awareness," ujarnya.

Untuk memasukkan pengurangan risiko bencana ke dalam pembangunan, BNPB menggandeng Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional merancang rencana induk penanggulangan bencana untuk 30 tahun atau sampai 2045. Rencana induk ini ditargetkan sudah melewati uji publik pada November 2017. "Kami berkolaborasi antarkementerian dan lembaga susun rencana penanggulangan bencana 2045 yang salah satu rekomendasinya bahwa setiap pembangunan ke depan harus melalui kajian risiko bencana," ujarnya.

Kajian risiko bencana dinilai penting karena ancaman semakin besar. Willem mengungkapkan ancaman bencana tersebut berasal dari degradasi lingkungan yang lebih cepat dari upaya rehabilitasinya. Kerusakan lingkungan tercatat mencapai 750 ribu hektare tetapi upaya pemulihannya hanya mampu menjangkau 290 hektare. Selain itu, daerah aliran sungai yang kritis mencapai 24,6 juta hektare.

Risiko bencana tersebut juga bertambah dengan adanya perubahan iklim. Padahal, Willem mengakui kemampuan Indonesia untuk menghadapi perubahan iklim dan cuaca ekstrem masih jauh di bawah. Sementara bencana di Indonesia tercatat mencapai 92 persen berasal dari hidro metereologi seperti banjir dan longsor.

Pembangunan pun menambah risiko bencana seperti pertambahan pemukiman dan alih fungsi lahan. Pembangunan yang sebelumnya tidak berbasis analisis risiko bencana juga dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar. "Kita tahu di Indonesia ini rawan bencana, tidak ada tempat aman. Kalau tahu risikonya gempa, misalnya risikonya 7 SR, bangunannya harus tahan 8 SR untuk bisa aman," ujarnya.

Pada 2016, BNPB mencatat kejadian bencana mencapai 2.384 kali. Sementara, 150 juta orang tinggal di daerah rawan bencana, di mana 60 juta orang tinggal di daerah rawan banjir, 40 juta orang di wilayah rawan longsor, dan 1,1 juta orang tinggal di daerah rawan erupsi gunung berapi.

Sementara itu, Gubernur Papua Barat, Dominggus Mandacan mengungkapkan penduduknya tersebar di wilayah kota hingga kawasan pegunungan. Penduduk yang tinggal di wilayah lereng gunung diakuinya memiliki risiko tinggi terhadap bencana yang berasal dari degradasi lingkungan akibat pembukaan lahan. "Mereka butuh makan di satu sisi, tetapi di sisi lain berisiko bencana, sehingga kami sosialisasikan agar melestarikan hutan, agar mereka berkebun tetapi tidak menimbulkan longsor," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement