Senin 23 Oct 2017 05:01 WIB

Ekonomi Pribumi Vs Kolonial

Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi
Foto: pixabay
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M Luthfi Hamidi, Dosen STEI SEBI, Mahasiswa Doktoral Griffith University

Ungkapan Gubernur DKI Anies Baswedan terkait pribumi masih menjadi magnet perbincangan para pengamat dan netizen. Banyak yang sudah mengulasnya dari sisi sejarah, hukum ketatanegaraan, dan politik praktis. Tulisan ini hendak melihat lebih pada aspek ekonomi pribumi ketika dikontraskan dengan kolonial.

Bagaimana sebenarnya terjadi? Apa pengaruhnya hingga saat ini? Apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki agar sinyalemen pribumi yang dilontarkan Anies, susah payah “bertelur” tapi penjajah yang “mengerami”, tidak terjadi?

Di bawah bayang-bayang penjajahan kolonial, buku sejarah yang kita baca hampir selalu menempatkan pribumi sebagai korban. Bukan saja kedaulatannya dirampas, melainkan juga sumber ekonominya diperas. Alhasil, di mana-mana muncul perlawanan.

Salah satu kebijakan yang mungkin berdampak pada penghisapan sumber ekonomi adalah tanam paksa (//cultuurstelsel//) yang dikeluarkan Gubernur Van Den Bosch (1830) di Indonesia. Pribumi harus menyisihkan 20 persen lahannya untuk ditanami komoditas yang dibutuhkan penjajah, khususnya tebu dan kopi.

Penduduk yang tidak punya tanah, menggantinya dengan bekerja untuk Belanda selama 75 hari (20 persen dari 365 hari). Kenyataannya, aturan sepihak yang memberatkan itu diterabas penjajah sendiri. Misalnya, di lapangan bukan 20 persen atau 75 hari kerja, melainkan bisa lebih dari itu.

Apakah ini hanya cerita kelam di Indonesia? Tentu tidak. Raja Leopold dari Belgia yang mengolonisasi Kongo mencontoh bagaimana Belanda mengeksploitasi Indonesia dan menerapkan model tanam paksa yang sama (Gann dan Duignan, 1979).

Setelah kekayaan alam dikuras, selama 1920-1930, tingkat pajak yang dipaksakan kolonial kepada rakyat Kongo mencapai 60 persen. Kebijakan ini bukan hanya melecuti ekonomi pribumi, sekaligus sendi kehidupan mereka (Jewsiewicki, 1983).

Akibat penjajahan ini, dampaknya mungkin masih bisa dirasakan hingga saat ini. Indonesia dan Kongo masuk keranjang yang sama sebagai negara berkembang. Bedanya, kita lebih beruntung, pendapatan per kapita sudah mencapai 4.000 dolar AS atau 10 kali lipat dari Kongo.

Pribumi maju

Namun kisah yang agak berbeda bisa dijumpai pada pribumi di Selandia Baru. Ketika Inggris datang dan menjadikan Selandia Baru sebagai koloni, perlawanan juga dilakukan suku Maori (1845-1872). Pada akhirnya, Inggris berhasil merangkul pribumi.

Apa yang dilakukan Inggris yang menjadikan Selandia Baru sekarang sebagai salah satu negara maju dengan pendapatan per kapita sembilan kali lebih besar daripada Indonesia?

Menurut Daron Acemoglu, ekonom dari MIT, penulis //Why Nation Fails: The Origin of Power, Prosperity, and Poverty//, ada hubungan antara suksesnya pribumi dengan tingkat kematian tentara kolonial dan keluarganya di tempat baru tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement