Senin 23 Oct 2017 05:01 WIB

Ekonomi Pribumi Vs Kolonial

Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi
Foto:

Ketika tingkat kematian orang Eropa di tempat baru itu tinggi (boleh jadi karena perlawanan penduduk lokal atau karena penyakit), mereka cenderung hengkang, meninggalkan tanah koloninya.

Oleh karena itu, institusi ekonomi yang mereka buat asal-asalan saja, sekadar untuk menguras kekayaan alam setempat. Meminjam istilah Daron, negeri itu ditargetkan sebagai negeri perahan (//extracted states//).

Ketika di tempat baru tingkat kematian rendah, mereka cenderung menetap dan beranak pinak. Lalu, mereka membangun institusi ekonomi yang berintegritas karena menyangkut masa depan mereka sendiri.

Institusi itu mereka duplikasi sedemikian rupa sehingga mirip dengan tanah leluhurnya. Karena dijalankan dengan prinsip yang mengutamakan peran pemerintah sebagai “pemberdaya”, bukan “pemeras”, akhirnya institusi itu berhasil mendukung kehidupan ekonomi.

Puncaknya, pendapatan per kapita penduduknya terkerek. Inilah, kata Daron, yang juga terjadi di Australia dan Kanada. Jadi, kunci berhasilnya ekonomi, seperti yang dikatakan Daron, adalah ada-tidaknya institusi ekonomi yang serius dibangun untuk mendukung kehidupan pribumi.

Kalau ingin serius memajukan pribumi di DKI, institusi ekonomi yang pertama harus diperkuat. Pribumi di sini lebih merujuk pada semua warga yang beridentitas sah dan secara ekonomi kurang berdaya yang menjadi penopang terbesar dari penduduk DKI.

Dalam konteks DKI, proyek reklamasi bisa menjadi insentif ekonomi. Persoalannya, untuk siapa penerima manfaat terbesarnya? Nelayan dan penduduk sekitarkah yang notabene mendiami wilayah teluk itu turun-temurun? Atau itu jadi petaka baru untuk mata pencaharian mereka? Hidup yang sebelumnya sudah susah, tambah susah karena untuk melaut harus melingkar (berarti butuh lebih banyak uang untuk solar, sementara ikan makin sedikit didapat).

Di luar itu, mungkin ada isu-isu terkait keamanan, misalnya kekhawatiran dijadikan lokasi transit narkoba. Belum lagi, isu ekologi karena rusaknya habitat laut dan eskalasi mencemaskan terkait banjir Jakarta.

Oleh karena itu, kalau mau benar-benar meningkatkan derajat pribumi, Pemerintah DKI (juga pemerintah pusat) harus lebih berfokus pada penguatan institusi ekonomi.

Di tingkat provinsi, janji gubernur Anies-Sandi memberdayakan masyarakat melalui OK-OCE (One Kecamatan, One Centre for Entrepreneurship) untuk melahirkan ratusan ribu pengusaha baru perlu serius dikawal dan perlu dikritik bila melenceng.

Pertama, program ini adalah riil pemberdayaan. Tidak hanya kalangan berduit yang bisa menikmati, tetapi justru menumbuhkan perusahaan-perusahaan baru (start-up) diharapkan bisa menyerap tenaga kerja (kebanyakan pribumi).

Kedua, pemerataan (ada di setiap kecamatan) tidak hanya titik-titik tertentu. Dan ketiga, kalau ini berhasil, bisa menjadi model bagaimana institusi ekonomi diperkuat secara nasional. Bersamaan dengan itu, penguatan institusi ekonomi diarahkan untuk meningkatkan daya saing.

Dalam sebuah kesempatan, Wapres Jusuf Kalla mengakui, kelemahan daya saing Indonesia terletak di empat simpul, yaitu birokrasi, energi, logistik, dan pembiayaan. Institusi pendukung ekonomi akan tangguh kalau birokrasi yang dibangun efisien.

Contoh sederhana yaitu bila perizinan dipermudah. Dalam skala nasional, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sudah mulai menunjukkan kinerja positif dengan mempersingkat pengurusan izin investasi. Adanya perbaikan perizinan ini patut diapresiasi.

Bila dilihat dari rating "Economic Freedom", peringkat Indonesia sudah mulai membaik. Pada 2008, Indonesia berada di posisi ke-90, sementara Malaysia ke-77 dan Filipina ke-76. Pada 2017, posisi Indonesia merangkak naik menjadi ke-84, sementara Malaysia ke-27 dan Filipina ke-58.

Bagaimana kedua negara tetangga ini bisa melesat kencang meninggalkan kita? Di antara yang dijadikan tolok ukur penilaian dari "Economic Freedom" adalah tingkat penegakan hukum dan integritas pemerintahan.

Sayangnya, penegakan hukum kita masih sering tebang pilih. Contoh pahit pernah diberikan Sudirman Said. Ketika warga DKI membangun kontrakan untuk hidup, langsung dirobohkan aparat dengan dalih tidak memiliki IMB. Sementara, saat deretan ruko tak berizin, aparat diam.

Sudah saatnya institusi diperkuat. Pemerintah perlu memberikan kemudahan kepada semua pihak. Berlemah lembut kepada investor kakap, sebaliknya sangat keras ketika menindak para pelaku ekonomi kecil, sudah tidak relevan lagi.

Kedua-duanya harus diperkuat, diperlakukan sama di depan hukum. Meninggalkan dan menyia-nyiakan pelaku ekonomi kecil hanya akan memancing kerawanan dan perlawanan sebagaimana dahulu pribumi diperlakukan kolonial di sini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement