REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -– Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menilai, kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy yang menginginkan guru memiliki keahlian ganda dinilai melanggar konstitusi. Plt Ketua Umum PB PGRI Unifah mengatakan, dalam Undang-Undang (UU) Guru dan Dosen disebutkan bahwa guru harus profesional, harus linier, tetapi mengapa sekarang justru dibolehkan.
Dia pun menyatakan keberatan atas kebijakan tersebut. "Artinya (kebijakan) keahlian ganda seperti itu malah melanggar konstitusi. PGRI keberatan," katanya, Jumat (20/10).
Unifah mengakui, Indonesia memang kekurangan tenaga guru dan barangkali kebijakan semacam ini oleh pemerintah dijadikan solusi. Namun, dia meminta seharusnya kebijakan yang diterapkan tidak demikian. “Keahlian ganda jangan digunakan untuk menutupi kebutuhan guru,” kata dia.
Cara mengatasinya, menurut dia, adalah dengan rekrutmen guru baru, bukan dengan keahlian ganda begitu. Kalau kekurangan guru diisi dengan guru baru yang kompeten.
Kemudian memberi peluang semua yang memenuhi syarat diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS), termasuk guru honorer. "Banyak guru honorer bagus-bagus. Mereka bisa diberi kesempatan,\" jelas Unifah.
Pengamat pendidikan M Abduhzen menilai, kebijakan keahlian ganda untuk guru Tanah Air merupakan solusi dalam jangka pendek. Menurut dia, kebijakan tersebut dilatarbelakangi problem kekurangan guru yang parah.
Indonesia bisa kekurangan 75 ribu guru setiap tahun. Dan diperkirakan pada 2020 hingga 2022 nanti, Indonesia akan kekurangan 316 ribu guru.
Selain itu, pemerintah masih moratorium mengangkat guru PNS. Guru-guru ini memang diberikan keahlian ganda ilmu-ilmu yang serumpun dan berdekatan.
Misalnya, di pelajaran bidang sains, seperti matematika, kimia, hingga fisika. Sementara bidang sosial, seperti geografi dan sosiologi.
Namun, Abduhzen menyebut langkah ini hanya antisipasi dan bersifat hanya sementara. "Ini jalan pintas menghadapi persoalan, tetapi tidak menjadi solusi yang menuntaskan buat guru kita," ujarnya.
Untuk penyelesaian masalah dalam jangka waktu panjang secara permanen, kata dia, diperlukan //grand design.// Pemerintah harus memiliki pemetaan yang jelas terkait permasalah guru yang kurang.
///Grand design// ini juga termasuk sistem rekrutmen, termasuk persoalan menumpuknya guru honorer. Belum lagi guru yang sekolah di pendidikan profesi guru (PPG) nantinya kalau lulus menjadi apa.
Secara terpisah, minimnya jumlah guru di Indonesia ini menjadi salah satu penyebab pendidikan di Indonesia jauh tertinggal dengan beberapa negara lain di ASEAN.
Ketua Lembaga Pengkajian (Lemkaji) MPR RI Rully Chairul Azwar mengatakan, kondisi pendidikan nasional saat ini belum sebaik yang diharapkan. Masih banyak persoalan yang mengiringi pelaksanaan pendidikan nasional, meskipun anggaran pendidikan sudah ditingkatkan hingga Rp 416,1 triliun untuk 2017.
Tapi faktanya, kata dia, daya saing pendidikan di Indonesia jauh dibawah dibandingkan tiga negara ASEAN lain. Pada 2015-2016, posisi Indonesia berada di peringkat ke-37 dari 138 negara.
(Editor: Nashih Nashrullah).