REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan pemberantasan korupsi yang dilakukan baik oleh KPK, jaksa, maupun polisi harus dipastikan berada di jalan yang benar (on the right track).
"Yaitu, memang mau melakukan pemberantasan korupsi, bukan mau memberantas jalan pemberantasan korupsi. Atau mau memberantas pemberantas korupsi," kata Refly Harun di Gedung DPR RI, Rabu (18/10).
Refly mengungkapkan KPK telah membuka jalan pemberantasan korupsi di level atas. Wajar apabila muncul kecurigaan bahwa pembentukan densus dilakukan untuk memberangus KPK. Sebelum ada KPK, Refly menuturkan, pemberantasan korupsi tidak masuk ke wilayah kekuasaan DPR/MPR, bupati, atau wali kota.
Dahulu, yang ditangkap hanya pengusaha-pengusaha swasta. Para pejabat negara tidak terken jeratan hukum. Kini, jalan itu dibuka, siapapun yang korupsi bisa kena target. Refly mengatakan, wajar bila ini yang membuat para pejabat pemegang kekuasaan tidak senang. Ia mewanti-wanti agar pembentukan densus ini tidak menjadi upaya untuk memberantas jalan pemberantasan korupsi.
Banyak pihak mengkhawatirkan independensi terhadap lembaga kepolisian dan kejaksaan. Refly berpendapat, institusi seperti kepolisian dan jaksa pasti rawan intervensi. Intervensi wajib dilakukan jika penegak hukum tidak melaksanakan tugas dengan benar. Sebaliknya, presiden tidak boleh mengintervensi bila aparat sudah menjalankan tugas dengan baik. Karena itu perlu supervisi dari KPK.
Kelak apabila densus tipikor sudah terbentuk, Refly menyarankan, penindakan kasus-kasus korupsi cukup diserahkan pada lembaga tersebut. KPK tugasnya mengontrol, mengawasi, serta mengambil alih kalau seandainya pemberantasan korupsi jalan di tempat dan melindungi aktor yang lebih besar.
Menurut Refly, KPK sebagai satu lembaga independen harus mengawal proses pemberantasan korupsi. Fungsi KPK yang tadinya lebih banyak di sisi penindakan, nantinya fokus pada supervisi koordinasi. Hal itu sesuai dengan khittah KPK sebagai lembaga supervisi dan koordinasi. Hanya saja, KPK harus memegang semua fungsi pemberantasan korupsi karena di kepolisian dan kejaksaan tidak berjalan.
"Kita tetap membutuhkan KPK, paling tidak untuk supervisi, untuk koordinasi, untuk trigger mechanism, bahkan untuk ambil alih. Begitu pemberantasan korupsi ternyata mau menutupi korupsi yang lebih besar (dengan) mengorbankan yang kecil, KPK bisa ambil alih," ujar Refly.