REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun menyambut baik rencana pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) yang digagas Polri. Refly mengatakan harus ada sinergitas antara tiga lembaga penegak hukum, yakni kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Saya termasuk menyambut baik densus tipikor di polri ini. Cuma dia harus bekerja ke luar dan ke dalam. Jadi dia konsolidasi ke dalam dulu. Dia harus buktikan bahwa polisi bisa bersih, kira-kira begitu. Ya kalau polisinya enggak bersih bagaimana kemudian mau membersihkan yang lainnya," kata Refly Harun di Gedung DPR RI, Rabu (16/10).
Refly mengatakan penegakan hukum ke luar dan ke dalam internal Polri harus berlangsung simultan. Menurut dia, masalah tiga institusi penegak hukum di Indonesia adalah masalah kepercayaan publik (trust).
Dalam konteks pemberantasan korupsi, Refly mengatakan, yang namanya KPK pasti bukan malaikat. Tapi, KPK lebih dipercaya dibandingkan dengan dua institusi lainnya. Refly berharap, densus tipikor yang akan dibentuk bisa mendapat kepercayaan publik dan menuai banyak pujian.
"Untuk level of trust ini menurut saya densus tipikor mudah-mudahan bisa mengejar itu, sama seperti misalnya polisi dipercaya kalau dia melakukan pemberantasan terorisme," kata Refly.
Refly mengatakan sinergi antara KPK dengan kepolisian dan kejaksaan perlu dikuatkan untuk mendukung proses penegakan hukum. Jaringan polisi dan jaksa tersebar dari Sabang sampai Merauke, sementara KPK hanya di level pusat. Jika satu atau dua lembaga lainnya tidak berfungsi, yang lain akan limbung.
Banyak pihak mengkhawatirkan adanya pelemahan bahkan pembubaran KPK lewat rencana pembentukan Densus Tipikor. Jika dikembalikan pada khittahnya, Refly mengingatkan, KPK memang dibuat hanya untuk mekanisme pemicu. Apabila polisi dan jaksa mampu melakukan pemberantasan korupsi, maka KPK tidak perlu ada.
"KPK akan diperlukan kalau ternyata pemberantasan korupsi oleh polisi dan jaksa menyisakan ruang kosong yaitu tidak bisa menjangkau sampai elit-elit kekuasaan di puncak, baik itu eksekutif maupun legislatif. Misalnya, parpol," kata Refly.
Jika ada kelemahan seperti itu, Refly mengatakan, mau tidak mau Indonesia membutuhkan lembaga independen. Karena bila tidak ada lembaga independen, akan ada lapis kekuasaan yang bisa korupsi dan tidak bisa ditembus.
"Kecuali jika Indonesia sudah seperti Skandinavia, yang cukup polisi dan jaksa tanpa perlu lembaga-lembaga lain," jelasnya.