Rabu 18 Oct 2017 04:51 WIB

Merawat Rekonsiliasi Hamas dan Fatah

Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PKS, Sukamta
Foto: dok.Istimewa
Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PKS, Sukamta

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sukamta, Anggota Komisi I DPR

Kesepakatan rekonsiliasi Hamas dan Fatah dengan difasilitasi Mesir menjadi kabar gembira bagi warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat. Kabar ini juga menjadi perhatian dunia internasional. Tidak sedikit pemimpin dunia yang menyambut gembira perkembangan ini, meski juga ada suara-suara skeptis yang meramalkan rekonsiliasi tidak akan berjalan lama.

Bagi kita bangsa Indonesia, perkembangan positif di Palestina ini patut untuk disambut dengan gembira dan diharapkan menjadi tahapan yang lebih nyata terwujudnya kemerdekaan dan perdamaian. Harapan ini mengemuka dengan melihat berbagai proses rekonsiliasi sejak 2007 selalu mengalami jalan buntu.

Beberapa negara, seperti Arab Saudi, Turki, Qatar, Rusia, hingga Liga Arab pernah memediasi kedua belah pihak, tapi juga tidak mampu menghasilkan kesepakatan. Akhirnya harapan itu muncul dalam proses tiga bulan terakhir dengan mediator Mesir dan hasilkan kesepakatan rekonsiliasi.

Perkembangan yang berharga ini tentu perlu untuk dirawat. Ini tidak hanya penting bagi Palestina, tapi juga situasi regional Timur Tengah yang selama ini dipenuhi dengan gejolak. Namun, jika mendasarkan pengalaman sebelumnya di mana proses rekonsiliasi sering mengalami kegagalan, timbul pertanyaan, apakah rekonsiliasi ini akan berjalan lama? Apakah yang perlu dilakukan oleh Indonesia untuk ikut mendorong keberlangsungan rekonsiliasi di Palestina?

Rekonsiliasi kemanusiaan dan politik

Ada tiga kesepakatan penting yang dicapai antara Hamas dan Fatah. Pertama, pengamanan perbatasan Gaza-Mesir di Rafah diserahkan kepada pemerintah bersama Palestina dengan pengawasan Badan Perbatasan Uni Eropa (EUBAM). Perbatasan yang selama ini dikelola Hamas tersebut akan dijaga oleh Pengawal Kepresidenan Palestina.

Kedua, seluruh kendali administrasi di Gaza yang saat ini dikelola Hamas akan diserahkan kepada Pemerintah Bersama pada 1 Desember 2017. Ketiga, Palestina akan menggelar pemilihan presiden dan pemilihan legislatif setahun sejak kesepakatan rekonsiliasi ditandatangani.

Jika menilik ketiga kesepakatan tersebut, terlihat ada motif kemanusiaan yang cukup kuat melatarbelakangi rekonsiliasi. Baik Hamas maupun Fatah menyadari kondisi sosial ekonomi warga Palestina yang hidup terisolasi, khususnya di wilayah Gaza, semakin memburuk.

Poin pertama kesepakatan terkait pengelolaan perbatasan Gaza-Mesir di Rafah tentu akan membuka akses bagi warga Palestina untuk mendapatkan kebutuhan pokok. Kesepakatan ini juga akan membuka akses bagi tersedianya listrik dan air minum dari wilayah Mesir. Motif kemanusiaan ini tampak lebih kuat pada pembicaraan rekonsiliasi yang berbuah kesepakatan ini.

Beberapa analisis menyebutkan jika krisis kemanusiaan di Gaza semakin menguat. Hal ini juga akan berimbas kepada Mesir. Barangkali ini salah satu alasan yang membuat Mesir sangat bersemangat memediasi Hamas dan Fatah.

Mesir cukup khawatir dengan berkembangnya kelompok ISIS di Sinai dan berharap Hamas dengan kekuatan pasukannya bisa ikut membantu meniadakan ruang gerak bagi ISIS di Gaza. Mesir juga khawatir situasi kemanusiaan yang memburuk di Gaza akan memicu kembali perang Gaza-Israel dan ini bisa mendorong gelombang pengungsian ke wilayahnya.

Selain motif kemanusiaan, motif politik juga mendorong rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah. Secara internal baik Hamas maupun Fatah menyadari kebuntuan politik akan mendorong situasi Palestina semakin tidak berdaya saat berhadapan dengan tekanan Israel.

Langkah Abbas mengisolasi Hamas di Gaza malah menyebabkan dirinya tidak disukai oleh publik Palestina. Ini tercermin dari jajak pendapat yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Kebijakan Palestina bekerja sama dengan lembaga Konrad Adenauer Foundation di Ramallah. Hasilnya menunjukkan, Haniyah akan mendapatkan 50 persen suara dan Abbas hanya 41 persen suara apabila digelar pemilu presiden.

Jajak pendapat ini juga menunjukkan 67 persen mendukung Abbas lengser dan hanya 27 persen mendukung Abbas tetap menjadi presiden. Jumlah yang meminta Abbas lengser 60 persen di Tepi Barat dan 80 persen di Jalur Gaza.

Sementara, motif politik secara eksternal dapat terlihat adanya adu pengaruh kekuatan di Timur Tengah dalam proses rekonsiliasi seperti ada kubu Mesir dan UAE yang dekat dengan Arab Saudi, Israel dan AS. Di sisi lain, ada kubu Qatar dan Turki yang akhir-akhir ini cukup dekat dengan Rusia dan Iran.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement