Rabu 18 Oct 2017 05:02 WIB

Kritik Pertama untuk Anies Baswedan

Abdullah Sammy.
Abdullah Sammy.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdullah Sammy, Jurnalis Republika

Seorang Thomas Jefferson pernah berucap, "kemerdekaan kita bergantung dari kebebasan pers."

Merujuk pernyataan sang founding fathers Amerika, kita jadi patut bertanya apakah negara Indonesia pada 2017 ini telah benar-benar merdeka? Atau justru bangsa ini secara tak sadar sudah terjajah oleh kepentingan sekelompok tertentu yang menguasai media?

Sulit rasanya untuk langsung mengiyakan atau membantah deretan pertanyaan di atas. Tapi, sebagai orang yang berkecimpung di dunia media, menjaga kemerdekaan pers dalam bersikap adalah sebuah tanggung jawab besar yang mesti ditunaikan oleh diri pribadi.

Tapi sadar atau tidak, tanggung jawab besar itu masih sulit dijalankan sebagian pihak akibat tingginya faktor subjektivitas. Kadang kala rasa simpati pada tokoh atau rezim, sulit membuat kita untuk terus memegang nilai yang sama.

Sebagai contoh, kebijakan wartawan atau media kadang tak konsisten dalam membela isu masyarakat karena terkait dengan siapa rezim berkuasa. Jika di era sebuah rezim sebuah media bisa bergitu kritis berada di sisi rakyat. Tapi saat rezim berganti sesuai dengan kubu si pemilik, media itu pun berganti baju menjadi 'humas' pemerintah.

Sadar atau tidak, tindakan inilah yang membuat bangsa ini mundur beberapa langkah. Karena itu, pantang bagi insan media untuk mengkorting nilai sebuah idealisme hanya karena siapa yang berkuasa.

Saya jadi teringat ucapan seorang Dosen Filsafat UI, Rocky Gerung, "lindungi jurnalis yang melakukan tugas publik. Lindungi publik dari jurnalis yang melakukan tugas partai."

Karenanya melindungi kepentingan masyarakat sama krusialnya dengan melindungi media agar tetap objektif dan independen. Berangkat dari pertimbangan objektivitas itu maka kritik menjadi sebuah keharusan, bahkan kebutuhan.

Penting bagi media untuk tetap kritis mengawal rezim Jokowi-JK. Pun halnya dengan Anies-Sandi yang baru diberi amanat untuk membangun kota Jakarta selama lima tahun ke depan.

Tak dipungkiri, di era gubernur sebelumnya, media amat terbelah. Ada yang tetap kritis. Namun tak sedikit pula yang menjadi 'fans boy' si gubernur.

Saya pernah mengulas hal itu dalam artiel Ahok, Media dan Teluk Jakarta.

Tulisan tersebut saya buat saat Ahok masih aktif menjabat. Kala itu, saya mengkritisi media yang terlalu memuja Ahok justru berpotensi menjerumuskan pria asal Bangka Belitung itu.

Saya merujuk kisah seorang gubernur Connecticut John Grosvenor Rowland yang justru harus berakhir di penjara karena kontribusi media. Karena media kerap menjadi alat pemoles gincu si pejabat maka sang gubernur jadi bertindak seenaknya. Minusnya pengawasan dan kekritisan media memuat Rowland dengan mudahnya menerabas berbagai aturan hukum.

Dalam tulisan kala itu, saya menggarisbawahi bahwa penjerumusan yang sama juga bisa terjadi pada Ahok akibat media yang tumpul dalam mengkritik. Media malah sering menjadi alat pembenaran, bahkan wadah, atas ucapan Ahok yang kerap berbuah polemik. Dan itu pun terbukti kini.

Dalam tulisan ini saya tak mau panjang lebar membahas Ahok melainkan Anies Baswedan. Pembahasan ini menyangkut pidato pertama Anies usai resmi dilantik yang kemudian menimbulkan kritik.

Poin pidato Anies yang menimbulkan sorotan adalah kalimat, "Dulu, kita semua, pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri."

Bagi sebagian pihak, kalimat yang diucap Anies ini sensitif. Sebab memakai diksi 'pribumi' yang masih menyisakan riwayat psiko-historis yang kurang baik di tengah masyarakat.

Memang, kalau ditelaah, ucapan Anies ini awalnya adalah terkait masa lalu saat masa kolonialisme. Tapi konteks masa lalu tersebut ditarik pada situasi kekinian dengan ucapan, "kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri."

Pihak yang kontra Anies pun jadi mudah memelintir ucapan Anies terkait pribumi ini sebagai bentuk ucapan yang menyinggung ras tertentu. Terlebih jika ditarik dalam konteks historis, terminologi pribumi adalah bentuk pemisahan dengan ras lain.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement